TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyatakan pemerintahan Jokowi kandas menjalankan industrialisasi selama dua periode. Alih-alih mendorong sektor industri khususnya manufaktur tumbuh pesat, Indonesia malah terjebak dalam perangkap deindustrialisasi.
“Secara kumulatif sepuluh tahun ke belakang, strategi industrialisasi nan dilakukan pemerintahan Joko Widodo tidak dapat dikatakan sukses alias secara gamblangnya, gagal,” ucapnya dalam obrolan nan disiarkan secara daring, Selasa, 1 Oktober 2024.
Andri menjelaskan, ada sejumlah parameter nan membuktikan pemerintah kandas membangun sektor industri dalam sepuluh tahun terakhir. Indikator-indikator itu antara lain anjloknya porsi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan rendahnya pertumbuhan sektor industri dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata. Dalam sepuluh tahun terakhir, porsi industri manufaktur terhadap PDB terus merosot dari 21,02 persen di 2014 menjadi 18,52 persen di semester-I 2024.
Kinerja Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia dalam satu dasawarsa belakangan, menurut Andri, juga tak menampakkan optimisme. Dalam tiga bulan terakhir, PMI manufaktur Indonesia justru terus mencatatkan kontraksi, ialah 49,2 pada September 2024, 48,9 pada Agustus 2024, dan 49,3 pada Juli 2024.
Selain itu, Andri menyoroti jumlah tenaga kerja sektor jasa nan meningkat hingga 49 persen pada 2022, tapi hanya menyumbang 42 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini tertinggal dibandingkan rata-rata sumbangan sektor jasa terhadap PDB di negara-negara berpendapatan menengah lain ialah sebesar 53 persen.
Andri mengatakan, penilaian ini tak bermaksud menimpakan tanggung jawab industrialisasi sepenuhnya diaibatkan kepada pemerintahan Jokowi. Namun, dia menegaskan pertimbangan besarnya kepada mantan Wali Kota Solo itu ialah bingkisan demografi nan disia-siakan oleh pemerintah dalam sepuluh tahun terakhir. Bonus demografi adalah kondisi ketika jumlah masyarakat usia produktif (15–64 tahun) lebih besar daripada jumlah masyarakat usia nonproduktif (65 tahun ke atas).
“Bonus demografi nan dialami dari awal hingga akhir kepemimpinann semestinya bisa dan wajib menjadi fondasi struktur ketenagakerjaan nan menghasilkan kelas menengah nan mempunyai produktivitas tinggi, terutama dari perkembangan sektor manufaktur sehingga dapat menopang struktur demografi selanjutnya,” katanya.
Iklan
Andi mengatakan, kegagalan pemerintah membangun industri didasari dari paradigma penghiliran alias hilirisasi nan bertumpu pada kepentingan tingkat retur modal, terutama modal asing, secara parsial pada sektor tertentu nan tidak padat karya. Akibatnya, penghiliran tidak menciptakan penyerapan tenaga kerja nan bisa menghasilkan banyak kelas menengah.
Menteri Perindustrian alias Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita sebelumnya telah menanggapi ihwal keahlian Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia September 2024 nan kembali mencatatkan kontraksi, ialah di nomor 49,2. Kontraksi ini merupakan ketiga kalinya secara beruntun sejak Juli di nomor 49,3 dan Agustus di nomor 48,9.
Agus Gumiwang mengatakan, lesunya keahlian PMI disebabkan antara lain pasar Indonesia nan tetap dibanjiri produk impor. Menurut dia, permintaan dalam negeri telah memadai. Namun, perihal ini tak sebanding dengan pasokan peralatan nan kebanyakan dari luar negeri.
“Karenanya, kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan masuknya peralatan ke Indonesia banget diperlukan,” ucap Agus Gumiwang dalam keterangan tertulis, Selasa, 1 Oktober 2024.
Pilihan Editor: Kena gempuran Impor Ilegal, Kemenkop UKM Sebut Indonesia Sudah Masuk Era Deindustrialisasi