Alih-alih Kerek Tarif Pajak, Ekonom Sarankan Ini untuk Genjot Penerimaan Negara

Sedang Trending 4 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) David Sumual berbincang tentang rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Menurut dia, pola pikir tentang ini kudu diubah lantaran Indonesia tetap merupakan negara berkembang. 

Alih-alih meningkatkan tarif pajak dari 11 persen menjadi 13 persen, David menilai aspek institusional alias tata kelola lah nan kudu dibereskan agar penerimaan pajak lebih optimal. "Jadi, governance kita tetap gak begitu baik. Banyak pengamatan dari lembaga-lembaga multilateral, dunia memandang governance kita, korupsi dan lainnya tetap cukup besar," katanya kepada Tempo dikutip Selasa, 23 Juli 2024.

Di sisi lain, David menyoroti banyaknya wajib pajak nan belum menaati kewajibannya. Namun, penegakan norma atas itu belum optimal dan merata. Hal ini akhirnya menimbulkan ketimpangan margin keuntungan. 

"Saya sering mendengarkan keluhan juga. Bayar PPN, semua bayar dengan baik, tapi rupanya toko sebelah gak bayar, misalnya. Paling gak itu marginnya kan udah beda 11 persen keuntungannya nan bayar sama nan tidak bayar," tuturnya.

Dengan kondisi demikian, menurut David jika tarif pajak dinaikkan maka nan bakal dikenai pajak lagi-lagi mereka nan alim pajak. Padahal, harusnya pemerintah membereskan dari segi penegakan hukumnya dulu.

"Bukan dari sisi tarifnya kudu dinaikkan alias bagaimana, untuk mendapat pajak lebih besar. Kalau dinaikkan, kelak nan kena orang-orang nan sudah alim pajak ini. Seperti berburu di kebun binatang, itu saja nan kena. Padahal, nan lain belum bayar dengan benar."

Pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bakal membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai janji kampanyenya. Prabowo mau memisahkan Direktorat Jenderal Pajak alias Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan.

"Susah sih, aspek politiknya lebih kuat. Memang kudu nan diperbaiki itu tadi aspek penegakan hukumnya dulu. Kita corak dua tiga lembaga lagi nan lain, jika masalah governance alias penegakan hukumnya belum jalan, ya sama aja," kata David.

Iklan

Namun, kata dia paling tidak pemerintah bisa lebih konsentrasi mengoptimalkan penerimaan negara setelah adanya BPN. Namun, lagi-lagi bukan dengan langkah meningkatkan tarif pajak, melainkan dengan diversifikasi. David menyebut, pemerintah mesti memberi stimulus bagi sektor-sektor nan unggul bersaing, diberi potongan pajak. 

Untuk sektor-sektornya, pemerintah kudu mengkaji dan membikin cetak birunya secara detail. Dia mencontohkan Jepang nan kuat di sektor otomotif. David mengatakan, pemerintah Jepang tak sembarangan dalam mengenakan pajak. Semuanya dikaji lantaran di dalam ekosistem otomotif di Jepang banyak sekali sub-subsektor dan lapangan kerja nan terlibat. 

"Kalau memutuskan sesuatu, mereka pikirkan secara ekosistem. Nah, kita belum tuh pemikiran dari sisi ekosistemnya. Ini nan kudu dipikirkan, mana nan kudu diberi stimulus, mana nan bisa unggul di pasar global," tuturnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pendapatan negara semester I 2024 sebesar Rp 1.320,7 triliun. Pendapatan negara turun 6,2 persen dibandingkan dengan periode nan sama pada tahun lampau ialah Rp 1.407,9 triliun. Dia menyampaikan perihal ini dalam rapat kerja berbareng Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Senayan pada Senin, 8 Juli 2024.

Pendapatan negara dari pajak turun paling dalam, ialah 7,9 persen dibandingkan tahun lalu. Penerimaan pajak semester I 2024 sebesar Rp 893,8 triliun, sedangkan semester I 2023 sebesar Rp 970,2 triliun. 

Pilihan Editor: Pemerintah Bebaskan Pajak Sampai 20 Tahun hingga Kepemilikan Asing Diperbolehkan 100 Persen di Kawasan Ekonomi Khusus

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis