Belajar dari Thailand: Bergejolak Akibat Gempuran Produk Murah Cina dan Penutupan Pabrik

Sedang Trending 4 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah sedang kelimpungan menghadapi banjir produk impor, terutama dari Cina, nan ditengarai dijual dengan nilai dumping. Komite Anti-dumping Indonesia (KADI) membuktikan adanya dumping ubin keramik dari perusahaan asal Cina ke Indonesia.

Atas temuan itu, KADI merekomendasikan Bea Masuk Anti-dumping (BMAD) untuk ubin keramik dari sebelas kode Harmonized System (HS). 

Kepala KADI, Danang Prasta Danial, dalam keterangan Kamis, 11 Juli 2024, mengatakan, penyelidikan ini merupakan permohonan dari pelaku industri, ialah Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki). Dimulai pada 15 Maret 2023, KADI menyampaikan laporan akhir hasil penyelidikan kepada Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan namalain Zulhas pada 2 Juli 2024. 

Dugaan dumping ini juga terjadi pada produk lain, terutama tekstil dan produk tekstil (TPT). Namun banyak pihak khawatir, pengenaan bea masuk anti-dumping bakal mendapat jawaban dari Cina, kekuatan ekonomi terbesar setelah Amerika Serikat.

Gempuran industri dan produk Cina juga dialami negara tetangga Thailand. Ketika kreator kendaraan listrik asal Tiongkok BYD membuka pabrik pertamanya di Asia Tenggara di Thailand awal bulan ini, negara berpenduduk 66 juta jiwa ini menjadi pusat perhatian dan mendapat pujian atas visi industrinya.

Namun, nan kurang mendapat perhatian adalah pengumuman dari pabrikan mobil besar lainnya - Suzuki Motor hanya beberapa minggu sebelumnya bahwa mereka bakal menutup pabrik di Thailand nan memproduksi 60.000 mobil setahun.

Langkah nan diambil produsen mobil Jepang ini mencerminkan langkah diambil oleh sejumlah perusahaan lain di negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara, nan menanggung beban impor murah dari Cina dan menurunnya daya saing industri lantaran beragam faktor, termasuk kenaikan nilai daya dan angkatan kerja nan menua.

Thailand telah menyaksikan nyaris 2.000 penutupan pabrik pada tahun lalu, sehingga berakibat jelek pada sektor manufaktur nan menyumbang nyaris seperempat produk domestik bruto (PDB).

Hal ini membebani perekonomian senilai $500 miliar dan pekerja seperti Chanpen Suetrong.

Perempuan berumur 54 tahun ini menghabiskan nyaris dua dasawarsa di V.M.C. sebuah pabrik kaca pengaman di provinsi Samut Prakan, sebagai pemeriksa produk otomotif dan gedung nan keluar dari jalur produksi.

Chanpen mengatakan dia tiba-tiba diberitahu pada bulan April bahwa pabrik tersebut ditutup, sehingga dia kehilangan pekerjaan.

"Saya tidak punya tabungan. Saya punya utang ratusan ribu baht," kata satu-satunya pencari nafkah dalam sebuah family beranggotakan tiga orang nan terdiri dari seorang suami nan sedang sakit dan seorang putri remaja.

“Saya sudah tua, di mana saya bakal bekerja? Siapa nan bakal mempekerjakan saya?” katanya seperti dilaporkan Reuters, Senin, 15 Juli 2024.

Monchai Praepriwngam, kepala di V.M.C. Safety Glass, menolak berkomentar kenapa pabriknya ditutup.

Keterpurukan sektor manufaktur telah membikin Perdana Menteri Srettha Thavisin, nan mengambil alih kekuasaan tahun lalu, kesulitan memenuhi janjinya untuk meningkatkan rata-rata pertumbuhan PDB tahunan menjadi 5% selama masa kedudukan empat tahunnya, naik dari 1,73% dalam dasawarsa terakhir.

“Sektor industri telah merosot dan pemanfaatan kapabilitas turun di bawah 60%,” kata Srettha kepada parlemen pekan lalu. “Jelas bahwa industri perlu beradaptasi.”

Supavud Saicheua, ketua badan perencanaan negara Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional, mengatakan model ekonomi Thailand nan selama puluhan tahun didorong oleh manufaktur telah rusak.

“Orang Cina sekarang mencoba mengekspor ke kiri, kanan, dan tengah. Impor murah itu betul-betul menimbulkan masalah,” kata Supavud kepada Reuters.

“Anda kudu berubah,” kata Supavud, dengan argumen bahwa Thailand kudu kembali konsentrasi pada produksi produk-produk nan tidak diekspor oleh Tiongkok sembari memperkuat sektor pertaniannya. "Tidak ada jika alias tetapi."

Iklan

Beradaptasi alias Bangkrut

Penutupan pabrik antara Juli 2023 dan Juni 2024 meningkat 40% dibandingkan 12 bulan sebelumnya, menurut info terbaru Departemen Pekerjaan Industri nan tidak pernah dilaporkan sebelumnya.

Akibatnya, nomor PHK melonjak sebesar 80% pada periode nan sama, dengan lebih dari 51.500 pekerja kehilangan pekerjaan, menurut data.

Jumlah pabrik nan tutup di Thailand meningkat, dan kesenjangan antara jumlah pabrik nan baru dibuka dan nan ditutup semakin melebar. Dari Juli 2023 hingga Juni 2024, lebih dari 50.000 pekerjaan lenyap akibat pabrik nan tutup.

Jumlah pembukaan pabrik baru juga melambat, dengan pabrik-pabrik besar tutup dan pabrik-pabrik mini malah dibuka, bagian riset Kiatnakin Phatra Bank mengatakan dalam sebuah catatan pada bulan Juni.

Dampaknya telah menyebar ke industri-industri nan menjadi penggerak utama perekonomian, termasuk industri otomotif, katanya.

Sementara itu, produsen mini sedang bergulat dengan kenaikan biaya produksi akibat kenaikan nilai daya dan bayaran nan relatif tinggi, kata Sangchai Theerakulwanich, ketua Federasi UKM Thailand.

“Kami bersaing dengan upaya multinasional,” ujarnya. “Produsen nan tidak dapat beradaptasi dengan sigap kudu menutup bisnisnya alias beranjak ke upaya lain.”

Berikutnya: Thailand Pungut PPN untuk Barang Impor Murah

  • 1
  • 2
  • Selanjutnya

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis