TEMPO.CO, Depok - Efek domino serangan peralatan impor asal Cina juga dirasakan pengrajin sepatu kulit asal Depok. Sepatu murah Cina membikin produksi pengrajin Depok kurang dilirik konsumen kendati kualitasnya lebih baik.
Pemilik toko sepatu industri rumahan New Hunteria H. Muhammad Adha, mengatakan saat ini mengandalkan penjualan dari dua toko dan e-commerce. Penjualan tokonya terkena imbas produk Cina..
"Omzetnya turun drastis, semenjak corona ini lah. Debelum corona mah lumayan,' tutur Adha saat ditemui di tokonya di Jalan Sersan Aning, Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Senin, 15 Juli 2024.
Pria berumur 61 tahun ini menilai banyak sepatu murah produk Cina nan beredar dan dipilih masyarakat meski kualitasnya buruk.
"Orang kita kan nan tidak punya duit, mending beli itu. Malah ada konsumen nan menanyakan, 'enggak ada nan Rp 100 ribuan pak'. Sepatu saya sekarang Rp 400 ribuan. Akhirnya dia cari nan Rp 100 ribuan. Ekonominya nan enggak kuat, ya gimana," ujar Adha.
Pengaruh sepatu impor Cina itu sudah dirasakan Adha sudah sejak lama. Bahkan sejak pandemi Covid-19 peralatan luar negeri bebas masuk ke Indonesia. Saat ini Adha pun hanya memproduksi sesuai penjualan dan hanya menggaji tenaga kerja freelance namalain sesuai orderan nan masuk dan mengisi etalase tokonya.
"Jadi tidak tiap hari produksi. Sejak corona ke sini saja. Tapi jika pengguna saya ya tidak cari nan murah. Mereka cari kualitas. Kalau dari Cina sih murah-murah, harusnya kan di pelabuhan (bea cukai) diberikan pajak tinggi, biar produk lokal bisa bersaing," kata Adha.
Adha juga sadar penjualan di tokonya menurun, lantaran saat ini ekonomi sedang susah dan daya beli masyarakat menurun dalam beberapa tahun terakhir. "Yang terasa setahun terakhir ini lah, lapangan kerja makin susah, PHK makin banyak, banyak orang nan enggak kerja," katanya.
Industri sepatu kulit New Hunteria sudah dilakoni Adha sejak 1987. Dia belajar membikin dasar kaki dari sang ayah. "Tadinya jualan nasi, disuruh nenek saya Anda kan tukang sepatu ngapain jual beli nasi, banyak saingan, khirnya buka produksi sepatu," kata Adha
Awalnya, Adha tidak langsung membuka toko, tetapi lebih memasarkan produknya di Pasar Minggu dengan menggelar lapak kaki lima. Saat itu dia tetap membikin tiruan sepatu-sepatu branded.
Iklan
"Bapak saya awalnya buat sepatu sneaker, seperti Nike, Adidas dan segala macam, kemudian dijual di Pasar Minggu. Namun lantaran sering dirazia akhirnya membikin sepatu kulit sembari belajar membikin sepatu kulit," kata Adha.
Sukses membikin sepatu kulit, Adha menjalin kerja sama dengan beberapa toko sepatu untuk memasarkan produknya. Tetapi pembayarannya tidak lancar. Akhirnya dia membuka toko sendiri di Jalan Arif Rahman Hakim Depok.
Seiring bertambahnya pesanan, dia lantas mempekerjakan 10 orang tenaga kerja untuk mengerjakan pesanan maupun mengisi etalase tokonya. Pada 2001 Adha kembali membuka toko di Jalan Sersan Aning.
"Dulu sampai sempat 10 karyawan. Pesanan banyak buat toko juga. Harga dari saya berapa terserah dia jual berapa nan krusial cash. Produksi dulu per bulan bisa sampai 500 sampai 600 pasang per bulan. Dulu penjualannya cepat, sekarang mah teler," ujarnya sembari tertawa.
Adha mengaku tetap memperkuat hingga 37 tahun dan selamat dari hantaman angin besar krisis moneter pada 1998 hingga saat ini memproduksi sepatu kulit lantaran tidak pernah meminjam modal ke bank.
"Kuncinya tidak ngutang di bank saja. Soalnya jika ngutang di bank kita ngejar-ngejar pembayarannya. Sudah itu tidak ngontrak. Jalanin saja putar-putar, mending ngutang di toko bahan," katanya.
Menurutnya, dengan tidak mengontrak, Adha tidak dipusingkan dengan mengejar sasaran dan menyisihkan hasil penjualannya untuk bayar sewa toko. Bahkan, beberapa brand besar tumbang lantaran tidak bisa bayar sewa tenant dan karyawan.
Adha mengungkapkan kelebihan sepatu kulit produksi New Hunteria lantaran original terbuat dari kulit dan kualitasnya terjamin.