TEMPO.CO, Jakarta - Iskak sekarang kudu rela turun status sebagai tukang pangkas kain di salah satu konfeksi nan berlokasi di Kelurahan Ulujami, Kecamatan Pesanggrahan lantaran sepinya orderan saat ini, Jakarta Selatan. Pria 40 tahun kelahiran Bukittinggi nan sebelumnya merupakan pemilik pabrik konfeksi di Cipadu, Kota Tangerang menduga, sepinya orderan akibat membanjirnya produk impor di pasar saat ini.
"Sudah dua bulan ini tidak beroperasi, orderan sedang sepi," kata Iskak saat ditemui di sela-sela pekerjaannya, Jumat, 12 Juli 2024.
Para pekerja konfeksi dibayar berasas jumlah pakaian yang mereka hasilkan. Lantaran pesanan nan masuk kian sedikit, akhirnya satu per satu pekerja di tempatnya mengundurkan diri. "Sudah tidak bisa menutupi sewa tempat dan listrik," kata dia.
Di tempat dia bekerja sekarang, Iskak bekerja sebagai mandor nan membawahi 18 pekerja. Ketika tetap mengelola pabrik sendiri, dirinya mempekerjakan 10 orang. Keahliannya sebagai tukang jahit dia peroleh dari sang paman. Iskak bercerita spesialisasinya adalah membikin busana anak dan busana wanita.
Dalam tiga bulan terakhir alias setelah Lebaran, Iskak mendapati tiga upaya konfeksi di Cipadu berakhir beroperasi. Iskak mengatakan sesama pengusaha konfeksi di Cipadu umumnya saling kenal satu sama lain.
"Penyebabnya lantaran minimnya orderan nan masuk. Biasanya dalam satu bulan, bisa mengerjakan tiga hingga empat orderan berbeda sekaligus. Tapi sejak awal tahun sudah melandai," katanya.
Iskak menyebut, pengguna nan menggunakan jasa konfeksi kebanyakan menjual busana jadi di lokapasar. Beberapa ada nan menjualnya di Pasar Cipulir alias Pasar Tanah Abang.
"Pengakuan kawan-kawan nan main di online juga sepi. Jadi mereka tidak membeli bahan untuk membikin barang. Akhirnya berakibat ke kami," katanya.
Masih di area Petukangan, konfeksi rumahan nan dikelola Doni Rahmat pada siang itu tidak terlalu sibuk. Dari 12 mesin jahit nan ada, hanya empat nan sedang beroperasi. Tiga pekan lampau Doni mengatakan sebagian pekerja memilih pindah ke konfeksi lain lantaran minimnya pesanan nan masuk ke tempatnya.
Iklan
Di ruangan seluas lapangan bulu tangkis itu, sekarang hanya ada empat pekerja nan bekerja sebagai tukang pangkas kain hingga menjahit pola-pola nan dibentuk menjadi celana kargo. "Tiap tahun setelah pandemi memang condong turun. Tapi jumlah produksi menurun paling drastis dalam tiga bulan ini sehingga jika ada borongan, itu bisa di-handle lima orang," katanya kepada Tempo, Jumat, 12 Juli 2024.
Iskak dan Doni meyakini aspek lesunya sektor hilir dari industri tekstil disebabkan maraknya produk impor nan dijual murah di pasaran. Iskak, mengatakan di pasar online, satu celana kargo laki-laki dewasa dijual hanya Rp 70 ribu hingga Rp 80 ribu.
"Dari mana hitungannya bisa dijual semurah itu. Sementara jika dihitung dari modal bahan, bayaran jahit dan pembuatan label, satu celana modalnya Rp 90 ribu hingga Rp 120 ribu," katanya. "Tapi apakah itu terlarangan alias bagaimana, saya tidak bisa memastikan. Logikanya tidak mungkin jika busana impor, harganya lebih murah daripada prdouk lokal."
Ketua Ikatan Pengusaha Konfeksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman, mengatakan ada 2.000 konfeksi rumahan nan mengalami penurunan produksi. "Jumlah penurunan produksinya hingga 70 persen," kata Nandi.
Selain menurunnya jumlah produksi oleh konfeksi rumahan, Nandi menyebut ada puluhan konfeksi nan tergabung dalam IPKB terpaksa tutup. "Ini lantaran produk impor terlarangan membanjiri pasar lokal dengan nilai nan sangat murah," katanya.
Nandi mengatakan, permintaan terhadap produk tekstil condong stabil. Akan tetapi perihal itu berbanding terbalik dengan kapabilitas produksi oleh konfeksi rumahan. "Kami bisa membaca dari laporan personil bahwa terjadi penurunan. Kalau begitu, indikasinya jelas bahwa pasar kita dipenuhi peralatan impor terlarangan nan dijual dengan nilai murah," ujarnya.
Pilihan Editor: Produsen Tekstil Sebut Pemerintah Tak Serius Berantas Impor Ilegal: Pakaian Jadi Label Cina Dijual di Bawah Rp 20 Ribu