TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Universitas Paramadina Handi Risza menilai pemerintah kudu mengakui pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan oleh aspek eksternal dan ketidakpastian perekonomian global. Menurut Handi, aspek terbesar melemahnya nilai tukar rupiah dipicu kebijakan fiskal dan moneter dalam negeri.
Handi mengatakan, semestinya nilai tukar rupiah tidak begitu ambruk mengingat inflasi dalam negeri lebih rendah dibandingkan dengan inflasi di Amerika Serikat. "Dalam teori inflasi itu, ketika inflasi rendah jauh di bawah AS, semestinya mata duit kita tidak serendah saat ini. Tapi nyatanya mata duit kita turun signifikan," kata Handi saat menjadi pembicara dalam obrolan berjudul Dilema Kabinet Prabowo dalam Bungkus Koalisi Besar, di Jakarta, Kamis, 11 Juli 2024.
"Akan tetapi pemerintah selalu menuding kondisi perekonomian dunia nan membikin perekonomian kita anjlok. Kondisi eksternal nan membikin mata duit kita jatuh. Padahal ada aspek internal nan sangat serius," dia melanjutkan.
Selain itu, Handi mengatakan penurunan penerimaan pajak saat utang meningkat bakal menurunkan keahlian pembayaran utang ke depan. "Ini bakal menjadi beban pemerintahan Prabowo ke depan lantaran dalam tahun ini jumlah penerimaan pajak tidak meningkat," katanya.
Senada dengan Hendi, Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti mengatakan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga disebabkan oleh kebijakan impor nan tidak tepat. Ia mengatakan nilai impor Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
"Mulai dari impor pangan, impor gula, impor tekstil, apalagi garam pun juga impor," kata Esther nan datang sebagai pembicara secara daring.
Iklan
Faktor lainnya nan mendorong melemahnya nilai tukar rupiah, kata dia, pengelolaan utang selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi. Esther menyebut ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS sangat tinggi. Menurut Eshter, perihal inilah nan terus menggerus devisa negara. "Dan pada akhirnya bakal mempersulit kesanggupan pemerintah untuk mengurangi beban utang," kata dia.
Esther menjelaskan, per Mei 2024, utang Indonesia tembus Rp 8.300 triliun dengan jatuh tempo pada 2025 hingga 2029 sebesar Rp 3.749 triliun. "Utang nan jatuh tempo ini juga bakal mengurangi devisa negara, sehingga pemerintahan Prabowo kudu mencari pengganti lain untuk meningkatkan pendapatan," katanya.
Untuk itu, dia menyarankan agar pembangunan IKN tidak lagi menggunakan anggaran nan besar dari APBN. "Kalau mau membangun dengan cepat, jangan pakai APBN, kudu cari pengganti lain dan tidak dibebankan pada anggaran negara," katanya.
Pilihan Editor: Bea Masuk hingga Satgas untuk Berantas Impor Ilegal, Pengusaha Konveksi Ini Cerita Kondisi Sudah Kritis