TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk tahun depan bakal tetap dilaksanakan. Sri Mulyani menyebutkan, kenaikan pajak ini merupakan petunjuk langsung dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) nan sebelumnya telah disusun oleh DPR berbareng dengan pemerintah.
Kenaikan PPN dari semula 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 ini dinilai oleh banyak kalangan merugikan rakyat, khususnya kelas menengah ke bawah. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi saat ini masyarakat telah tertekan dari segala sisi. Kenaikan PPN hanya bakal memperburuk keadaan.
“Kalau tarif (PPN) naik terlalu tinggi, imbasnya justru konsumsi menurun, mempengaruhi pemasukan pajak lainnya. Secara agregat rasio pajaknya turun, bukan naik,” kata Bhima ketika dihubungi pada Kamis, 21 November 2024.
Bhima menilai, kenaikan PPN ini sangat tidak setara bagi masyarakat kelas menengah. Ia apalagi menyebutkan, masyarakat kelas menengah justru dihadapkan dengan 10 tambahan pungutan dan pajak baru di tahun 2025.
Kesepuluh pungutan tersebut nan pertama adalah kenaikan PPN 12 persen. Kemudian berakhirnya pajak UMKM 0,5 persen dan pemberlakuan asuransi kendaraan wajib (third party liabilities). Lalu, ada iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) serta wacana Dana Pensiun Wajib. Selain itu, juga bakal ada wacana pemberlakuan nilai tiket KRL nan disesuaikan dengan NIK.
Kemudian, penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) nan bakal diganti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ada juga kemungkinan naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa serta iuran BPJS Kesehatan serta nan terakhir, penerapan cukai minuman berpemanis.
“Ditekan atas bawah dan kanan kiri. Berat jadi kelas menengah di republik ini,” ucap Bhima.
Di sisi lain , DPR malah merumuskan izin baru mengenai pemaafan pajak alias tax amnesty. DPR baru saja memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bila jadi diberlakukan, maka ini bakal menjadi tax amnesty ketiga kalinya nan dilakukan oleh pemerintah.
Hal ini juga belum ditambah dengan wacana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22 persen ke 20 persen serta beragam bebas pajak (tax holiday) nan diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan.
“Kelas atas dapat banyak preferensi. Tarif PPh badan bakal turun jadi 20 persen, tax amnesty berkali-kali, sampai perusahaannya dapat tax holiday. Ini tidak fair,” ujarnya.
Hal nan sama juga dikatakan oleh ahli ekonomi Segara Institute, Piter Abdullah. Ia menyoroti kontrasnya perlakuan pemerintah terhadap golongan masyarakat ekonomi atas, dengan golongan masyarakat ekonomi menengah. Ia apalagi menyebut tax amnesty merupakan bukti pemerintah sudah kehabisan logika untuk menambah pendapatan negara.
“Kelompok menengah ini support sosial? Nggak. Dibantu pajaknya? Nggak. Dibebani pajak? Iya. Jadi, di satu sisi memberikan (kelas atas) kelonggaran pajak, di sisi lainnya menambah beban pajak (kelas menengah),” ujar Piter ketika dihubungi pada Kamis, 21 November 2024.