TEMPO.CO, Jakarta - Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) berambisi pengaturan baru soal pengelolaan pungutan ekspor kakao dan kelapa oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dapat efektif sesuai dengan tujuannya.
Ketua Umum GAPMMI Adhi S. Lukman mengatakan, industri berambisi pengaturan ini bisa menjamin kesiapan bahan baku dan mendorong penghiliran alias hilirisasi.
“GAPMMI mengapresiasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) nan telah menginisiasi pembentukan kelembagaan kakao dan kelapa ini. Kami berharap, pengaturan ini bisa menjamin kesiapan bahan baku serta mendorong hilirisasi sesuai program pemerintah," kata Adhi dalam keterangan resmi pada Selasa, 16 Juli 2024.
Adhi meyakini, pengelolaan biaya pungutan ekspor kakao dan kelapa bakal memperkuat sektor hulu. "Sehingga pertumbuhan sektor hulu bisa mendukung pesatnya pertumbuhan sektor hilir."
GAPMMI nan beranggotakan 475 personil industri skala besar, menengah, hingga mini meminta agar pengaturan baru tersebut dapat dibahas bersama. Adhi menekankan, program penghiliran perlu dikedepankan dan kesiapan bahan baku bagi industri makanan-minuman perlu dijamin. "Serta tidak menimbulkan tambahan beban bagi industri,” kata dia.
Sebelumnya, Kemenperin menginisiasi kelembagaan kakao dan kelapa. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menuturkan, rapat tersebut menyepakati pengelolaan kakao dan kelapa dilimpahkan ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melalui pembentukan dua kedeputian baru. Keduanya adalah Deputi Kakao dan Deputi Kelapa.
Tiga tujuan utama pembentukannya adalah menjamin kesiapan bahan baku industri, menjaga kelangsungan industri dan daya saing, serta meningkatkan nilai tambah. Presiden Joko Widodo alias Jokowi juga telah melaksanakan rapat terbatas mengenai ini di Jakarta pada Rabu, 10 Juli 2024.
Iklan
Penghimpunan biaya tetap dilakukan melalui skema pungutan ekspor nan dikelola langsung oleh BPDPKS. ”BPDPKS sudah mempunyai biaya besar nan bisa dipakai untuk sektor kakao dan kelapa, sehingga bisa melangkah segera,” kata Agus Gumiwang dalam keterangan resmi pada Rabu.
Agus Gumiwang menjelaskan, Indonesia pernah menduduki ranking ke-3 sebagai negara penghasil biji kakao hingga tahun 2015. Namun, sekarang Indonesia berada pada ranking ke-7. Dari sisi industri, Indonesia sejauh ini menjadi salah satu produsen dan pengekspor ke-4 produk olahan kakao di bumi pada 2023.
Selama rentang 2015-2023, produksi kakao Indonesia menurun sebesar 8,3 persen per tahun. Impor pun meningkat dari 239.377 ton menjadi 276.683 ton. Menurut Agus Gumiwang, pertumbuhan industri pengolahan kakao belum dibarengi dengan kesiapan bahan baku, sehingga sembilan dari 20 perusahaan berakhir beroperasi. "Industri pengolahan kakao saat ini kudu mengimpor 62 persen bahan baku biji kakao," katanya.
Di samping itu, penghiliran kelapa tetap terbatas lantaran pemanfaatan bahan baku nan belum optimal dan tetap adanya ekspor kelapa bulat. Hal ini, kata Agus Gumiwang, mengakibatkan utilisasi industri pengolahan kelapa tetap sekitar 55 persen. "Indonesia mempunyai potensi untuk memenuhi kebutuhan global, sehingga tetap terdapat ruang peningkatan hilirisasi kelapa nan sangat besar."
Pilihan Editor: Nilai Impor RI dari Israel Mencapai Rp 44,63 Miliar, BPS: Tidak Berarti Jika Dibandingkan dengan Total Impor