INACA Beberkan Penyebab Tiket Pesawat Mahal: Harga Avtur hingga Retribusi Bandara

Sedang Trending 4 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Penerbangan Berjadwal Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia (INACA) Bayu Sutanto merespons tingginya nilai tiket nan diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Akhir-akhir ini, kata Luhut, masyarakat mengeluhkan tingginya nilai tiket.

Mahalnya tiket pesawat juga diucapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno. Mahalnya tiket pesawat domestik itu berakibat pada pariwisata dalam negeri. Sandiaga Uno mengatakan pemerintah telah membentuk satuan tugas (satgas) penurunan nilai tiket pesawat, sebagai upaya untuk menciptakan nilai tiket pesawat nan lebih efisien di Indonesia.

Sekretaris Jenderal INACA itu mengatakan, belum tahu Menteri Luhut menggunakan info apa dan dari mana sehingga menyimpulkan demikian. "Datanya tidak di-share, diperlihatkan hanya komentarnya saja," ujar dia, saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan pada Selasa, 16 Juli 2024. 

Menurut Bayu, dalam kamus menjelaskan "mahal" dengan makna "lebih tinggi" daripada nilai alias nilai sebelumnya. Atau lebih tinggi dari nilai nan sepatutnya. Dalam kasus nilai tiket pesawat kelas ekonomi dalam negeri patokannya tarif pemisah atas (TBA). "Jadinya bisa dianggap mahal jika nilai jual di atas TBA dan sebaliknya," ucap dia.

Berikutnya, dia menjelaskan, nilai tarif pemisah atas nan tetap bertindak saat ini berasas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019 dengan patokan nilai avtur rata-rata Rp 10 ribuan dan nilai kurs USD per Rp 14.200-an. Saat ini, kata dia, nilai avtur di atas 14 ribuan dan kurs USD di atas 16 ribuan. "Dengan nilai tiket tidak melampaui TBA (2019) apakah tetap dibilang mahal?" ujarnya.

Dia memaparkan nilai tiket akhir nan dibayar penumpang. Dalam komponen detailnya, seperti nilai tiket berasas biaya total operasi setiap rute, Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara/passenger service charge (PSC) alias retribusi airport nan nilainya mencapai hingga 25-30 persen dari nilai tiket.

Selanjutnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen bakal naik 12 persen di 2025, iuran wajib Jasa Raharja, fuel surcharge nan diberlakukan sejak Agustus 2022 lantaran kenaikan nilai avtur jauh melampaui dugaan penghitungan TBA pada 2019. "Hingga sekarang Kemenhub belum menyetujui merevisi TBA tersebut," tutur dia.

Sehingga menurut Bayu, nilai akhir nan dibayar oleh penumpang mencakup pembayaran pajak kepada pemerintah dan kepada pengelola bandar udara. Bukan hanya nilai tiket semata sesuai biaya operasi plus laba. Dia menyebut beberapa komponen biaya operasi mahal alias lebih dari nilai seharusnya.

Misalnya, kreasi gedung terminal airport nan berorientasi mewah dan megah tanpa perhitungkan biaya operasi dan perawatan nan pada akhirnya dibebankan kepada penumpang dalam PJP2U alias PSC. Inefisiensi pengelolaan bandara, biaya-biaya titipan dalam nilai avtur seperti throughput fee oleh pengelola bandara, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 0,25 persen oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi dan PPN 11 persen terhadap avtur untuk penerbangan domestik.

Iklan

Selanjutnya biaya ekstra nan dipungut oleh Tentara Nasional Indonesia dan otoritas airport di bandara-bandara enclave sipil, seperti airport sipil menumpang pada Pangkalan Angkatan Udara TNI, pajak, bea masuk, dan proses impor komponen dan suku cadang pesawat.

"Baru dua bulan nan lampau ada buahpikiran dari Kemenko Marves mau bebankan fana pariwisata ke nilai tiket. Mungkin dengan dugaan nilai tiket dianggap tetap murah," ucap Bayu. Sementara baru saja Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, kata dia, menyampaikan nan mahal itu tiket kelas bisnis. Bukan kelas ekonomi.

Dia menjelaskan, bulan lampau direncanakan bakal membebankan biaya kereta api airport ke tarif PSC, nan otomatis bakal disusupkan masuk ke nilai tiket. "Tapi langsung ditolak oleh pelaku industri penerbangan, wisata, hotel, dan lainnya," ucap dia. "Sekarang kok bilang nilai tiket mahal, ya? Apa menjadi pejabat publik itu statemennya tidak selalu konsisten?"

Bayu merekomendasikan beberapa opsi untuk menurunkan nilai tiket melalui penurunan dan efisiensi biaya operasi. Misalnya hapus bea masuk, pajak penghasilan (PPh) impor, PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) suku cadang dan komponen pesawat. Hapus PPN terhadap tiket domestik, tiket luar negeri tidak dikenakan PPN.

Selanjutnya, hapus PPN terhadap avtur untuk penerbangan domestik, efisiensi pengelolaan airport agar tarif PSC dan sewa akomodasi airport bisa turun. "Semuanya dalam kendali pemerintah, tinggal butuh kemauan political will," ucap Bayu.

ILONA ESTHERINA

Pilihan Editor: Terpopuler: Alasan Prabowo Lanjutkan IKN, Dampak Penembakan Donald Trump pada Harga Emas

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis