TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bakal stagnan di nomor 5 persen pada 2025. Meski demikian, pertumbuhan 5 persen itu bisa tak tercapai jika daya beli masyarakat bakal tetap rendah.
“Itu kemungkinan bakal lebih rendah jika daya beli masyarakat tidak ada pembenahan secara cepat,” kata Head of Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Andry Satrio Nugroho, di Kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, pada Kamis, 21 November 2024.
Karena itu, Andry mengatakan, Presiden Prabowo Subianto kudu bergerak sigap untuk mengatasi masalah itu. Dalam catatan Indef, Prabowo setidaknya kudu menyelesaikan masalah dalam tiga babak, ialah jangka pendek, menengah, dan tahunan.
Dalam jangka pendek, Andry mengatakan Prabowo mesti memperbaiki daya beli, mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), mengefektifkan program makan bergizi gratis, menunda kenaikan PPN 12 persen, dan mengoptimalkan pungutan dari Sumber Daya Alam.
Sementara itu, Prabowo juga kudu memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam jangka menengah. Selain itu, pemerintah juga mesti bisa mewujudkan swasembada pangan dan meningkatkan akses pelayanan dasar masyarakat, ialah air, rumah, dan sanitasi.
Kemudian, dalam jangka tahunan, Prabowo kudu memastikan support likuidasi bagi pertumbuhan ekonomi. Senyampang itu, Andry mengatakan, pemerintah juga kudu meningkatkan investasi, menurunkan ICOR Indonesia, dan meningkatkan keahlian sektor industri.
“Menurunnya kualitas penyaluran kredit, meningkatnya shopping pemerintah nan tak diimbangi shopping modal, sektor industri lemah, daya beli tertekan, menjadi argumen pertumbuhan ekonomi stagnan di 5,0 persen,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti dalam pemaparan “Proyeksi Ekonomi Indef 2025” meramal inflasi Indonesia tahun depan berada di nomor 2,8 persen year-on-year (yoy), nilai tukar mata duit alias kurs senilai Rp 16.100 per dolar AS, tingkat pengangguran terbuka sekitar 4,75 persen, dan tingkat kemiskinan sekitar 8,8 persen.
Beberapa aspek nan mempengaruhi kajian ini adalah kondisi geopolitik nan belum mereda usai terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47, juga permintaan di China nan tetap menunjukkan tren melemah untuk tahun depan.
Sementara di dalam negeri, Indef menyebutkan, belum ada stimulus sigap maupun insentif untuk memperbaiki daya beli masyarakat nan merosot serta kondisi industri nan memburuk. Selain itu, 2025 diperkirakan tetap menjadi tahun penyesuaian bagi Indonesia dengan pemerintahan baru.
Lembaga riset ini juga menekankan bahwa ada perlambatan konsumsi serta pelemahan daya beli masyarakat nan terjadi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya menunjukkan Indonesia mengalami deflasi lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024.
Penurunan daya beli kemudian terlihat dari laju pertumbuhan konsumsi pada triwulan I hingga triwulan III 2024 nan tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi.
Sementara, volume penjualan kebutuhan pokok di e-commerce alias lokapasar tercatat sempat mengalami penurunan. “Kondisi ini menggambarkan sungguh daya beli masyarakat mengalami pelemahan,” ujar Esther.
Esther mengusulkan perlu adanya upaya mengoreksi tingkat suku kembang referensi untuk menstimulus sektor-sektor riil, terutama sektor industri. Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 6,00 persen pada 20 November, setelah sempat memangkasnya sebesar 25 pedoman poin pada September lalu.
Nabila Azzahra berkontribusi dalam penulisan tulisan ini