TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menegaskan bahwa Apindo dalam posisi kontra terhadap wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penolakan ini, kata Shinta, didasari kekhawatiran adanya penurunan konsumsi masyarakat imbas kenaikan PPN.
“Implementasi kebijakan PPN pada saat seperti ini justru berisiko menekan konsumsi domestik,” kata Shinta seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 22 November 2024.
Ia menilai, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen di tahun 2025 berpotensi meningkatkan biaya produksi akibat pajak nan lebih tinggi di sepanjang rantai pasok. Hal ini, kata Shinta, pada akhirnya bakal meningkatkan nilai peralatan dan jasa di pasar.
Shinta juga mengatakan, saat ini bumi upaya sedang mengalami stagnasi tingkat penjualan. Menurutnya, 4 dari 10 pengusaha saat ini bisnisnya stagnan. Ia juga menyebut pertumbuhan bumi upaya saat ini kurang dari nomor 3 persen.
“Kondisi ini menandakan bahwa kebijakan kenaikan PPN bakal semakin memperburuk keahlian sektor riil dan menurunkan minat konsumsi masyarakat,” ujar Shinta.
Apalagi menurut Shinta, kondisi perekonomian negara condong mengalami perlambatan alias slow down. Pada kuartal III 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,95 persen secara year on year (yoy). Dimana, nomor ini tetap di bawah periode pemisah 5 persen nan telah ditetapkan sebelumnya.
“(Kenaikan PPN) memicu perlambatan ekonomi, dan meningkatkan skala sektor informal nan secara struktural kurang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” ucapnya.
Shinta sendiri malah merekomendasikan agar pemerintah mempercepat langkah-langkah penguatan ekonomi. Hal tersebut antara lain memberikan insentif fiskal bagi sektor-sektor terdampak, meningkatkan efisiensi shopping negara. Serta mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor nan selama ini kurang tergarap, seperti optimasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), perdagangan karbon, serta shadow alias underground economy.
“Pendekatan nan terukur dan inklusif ini sangat dibutuhkan untuk memastikan kebijakan fiskal tidak hanya mendukung penerimaan negara tetapi juga mempertahankan stabilitas ekonomi serta daya beli masyarakat,” ujar Shinta.