KPA Sebut Reforestasi 12 Juta Hektare Lahan Bisa Picu Konflik Agraria

Sedang Trending 2 hari yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menganggap reforestasi 12 juta hektare (Ha) nan dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia bisa memicu konflik agraria baru. Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, mengatakan rencana nan belakangan didengungkan lagi oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni itu memerlukan perencanaan matang, terutama jika dekat dengan permukiman

“Terutama tanah-tanah permukiman masyarakat dan desa nan selama ini tumpang tindih dengan klaim area hutan,” kata Dewi dalam keterangan resminya, Kamis, 21 November 2024.

Ketika menjalani rangkaian agenda Conference of the Parties 29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, pada awal pekan lalu, Menteri Raja Juli menyebut lembaganya tengah menyusun peta jalan (roadmap) reforestasi 12 juta Ha. Reforestasi ini merupakan ambisi Presiden Prabowo Subianto nan juga disampaikan oleh delegasi Indonesia—dipimpin oleh Hashim S. Djokohadikusumo—kepada peserta COP29.

Menurut Dewi, kebijakan reforestasi itu kudu mempunyai prinsip keterbukaan, serta melibatkan partisipasi masyarakat. Dia meminta perbaikan kondisi rimba nan gundul itu diterapkan di lahan nan jauh dari tempat tinggal masyarakat.

“Apalagi memandang pendekatan pemerintah nan selama nan sangat legal umum dan minus partisipasi masyarakat lantaran dijalankan secara top-down,” ujar dia.

Mengutip info Badan Pusat Statistik (BPS) hingga 2023, Dewi menyebut tetap ada 2.768 desa nan dinyatakan berada dalam area hutan. Catatan itu dianggap sebagai akibat dari kebijakan pemerintah nan tetap menggunakan azas domein verklaring—konsep kolonial nan memperlakukan lahan tanpa bukti kepemilikan sebagai tanah milik negara. Untuk mengukuhkan konsep itu, pemerintah juga membikin istilah ‘hutan negara’ melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sejak 2016, Dewi meneruskan, KPA telah mengusulkan 589 desa dengan luas 1,2 juta hektar sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Selama ini, desa-desa itu diklaim secara sepihak sebagai area rimba oleh pemerintah.

“Namun sampai berakhirnya periode pemerintahan Joko Widodo, tidak ada sejengkal pun tanah tersebut nan sukses dikembalikan kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan kewenangan mereka,” ucap Dewi.

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis