Maslow Quest: Aturan Baru RI Soal Stateless Butuh Implementasi Kuat

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Jakarta, CNN Indonesia --

Indonesia mengambil langkah krusial dalam menangani rumor status tanpa kebangsaan (statelessness) melalui diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2025 oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Februari 2025.

Aturan baru ini memungkinkan penduduk negara Indonesia di luar negeri nan kehilangan alias tidak mempunyai arsip kebangsaan untuk mengonfirmasi status mereka melalui kedutaan dan konsulat Indonesia.

Kebijakan tersebut dianggap sebagai upaya memperbaiki kekosongan administratif nan selama ini membikin sebagian pekerja migran dan anak-anak mereka kehilangan bukti kewarganegaraan. Untuk pertama kalinya, pemerintah secara resmi mengakui bahwa kebangsaan dapat dipulihkan di luar wilayah Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti Utama di Maslow Quest Foundation, Cassadee Orinthia Yan, menilai kebijakan ini sebagai perubahan nan berkarakter struktural. Ia menjelaskan bahwa selama ini rumor tanpa kebangsaan sering dipandang semata-mata sebagai persoalan pengungsi.

"Peraturan 6/2025 memaksa Indonesia untuk bercermin. Ia mengakui bahwa negara sendiri, pada waktu-waktu tertentu, turut menciptakan kondisi tanpa kebangsaan melalui kelalaian, norma nan usang, dan inersia birokrasi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (5/11).

Yan menyebut patokan ini sebagai reformasi kebangsaan paling signifikan dalam nyaris dua dasawarsa terakhir. Namun dia menegaskan, tantangan utama ada pada implementasi.

Menurutnya, proses verifikasi tidak hanya berjuntai pada kedutaan, tetapi juga pada pencatatan di tingkat desa, perkebunan, dan pusat detensi di mana banyak orang tetap tidak terdata.

Laporan terbaru Maslow Quest berjudul Belonging Without Borders (2025) menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia nan lahir di Malaysia dan Arab Saudi sering kali mewarisi status tidak berdokumen dari orang tua mereka. Peraturan baru ini, secara teoritis, memberi mereka kesempatan untuk kembali diakui dalam sistem hukum.

Langkah Indonesia juga beriringan dengan kerja sama regional. Pada Juli 2025, Indonesia dan Filipina mengumumkan pembentukan satuan tugas berbareng untuk menormalkan status norma penduduk keturunan Filipina di wilayah perbatasan Indonesia.

Program ini mencakup publikasi akta kelahiran, kartu identitas, dan arsip tempat tinggal secara gratis. Meski menyambut baik inisiatif tersebut, Yan mengingatkan bahwa persoalan tanpa kebangsaan tidak hanya soal dokumen, melainkan juga soal pengecualian sosial.

Dirinya pun mendorong pendekatan verifikasi berbasis komunitas, di mana tokoh masyarakat dan LSM dapat membantu mengonfirmasi identitas ketika catatan resmi tidak tersedia.

"Jika tidak, kita bakal memandang siklus nan sama dari arsip sementara dan pengecualian permanen," imbuh dia.

Yan melanjutkan, Indonesia hingga sekarang belum meratifikasi Konvensi PBB 1954 dan 1961 tentang Status Tanpa Kewarganegaraan, dua instrumen norma internasional utama nan mengatur penanganan perseorangan tanpa kewarganegaraan.

Ia menilai perihal ini dapat melemahkan kredibilitas reformasi domestik lantaran sistem norma tetap memperlakukan orang tanpa kebangsaan sebagai orang asing ilegal, bukan perseorangan nan berkuasa atas perlindungan.

Dirinya juga menyoroti perlunya perubahan paradigma kebangsaan nan tidak hanya berpusat pada negara, melainkan juga pada pengakuan sosial.

Beberapa inisiatif lokal sudah mulai dilakukan, seperti program jasa pencatatan kelahiran keliling di Aceh dan Batam nan digerakkan oleh LSM dan pemerintah daerah.

"Itulah bentuk penerapan nyata. Kamu kudu mendatangi masyarakat, bukan menunggu mereka datang kepadamu," tegasnya.

Sebagai informasi, saat ini peraturan tersebut tetap dalam tahap awal penerapan. Kedutaan Indonesia tengah melatih staf dan menyiapkan sistem data, sementara satuan tugas Indonesia-Filipina belum menetapkan agenda resmi.

Meski demikian, bagi banyak orang nan hidup tanpa kepastian hukum, mulai dari pelaut tanpa arsip hingga anak-anak di kamp pekerja migran, kebijakan baru ini menjadi awal dari angan untuk diakui.

"Kewarganegaraan bukan hanya status hukum. Itu adalah kewenangan untuk diakui. Peraturan 6/2025 memberi kita kerangka, tapi masa depannya berjuntai pada keberanian Indonesia untuk mengubah pengakuan menjadi kenyataan," pungkas Yan.

(rir)

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional