Nomor Urut Paslon Tak Beri Pengaruh, Gimik Politik Lebih Dominan

Sedang Trending 5 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Komisi Pemilihan Umum (KPU) wilayah di seluruh wilayah Indonesia telah menggelar pengundian nomor urut pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) nan bakal berkompetensi di Pilkada 2024.

Di Jakarta misalnya, pasangan Ridwan Kamil-Suswono mendapat nomor urut satu (1), lampau pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana mendapatkan nomor urut dua (2), dan pasangan Pramono Anung-Rano Karno namalain Si Doel mendapatkan nomor urut tiga (3).

Kemudian di Jawa Timur, pasangan petahana Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak nomor urut dua (2), pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta mendapat nomor urut tiga (3), dan pasangan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim mendapat nomor urut satu (1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selanjutnya di Sumatera Utara, pasangan Bobby Nasution-Surya mendapat nomor urut satu (1) dan pasangan Edy Rahmayadi-Hasran Basri Sagala mendapat nomor urut dua (2).

Nomor urut biasanya juga bakal menjadi jargon atau semboyan juga simbol-simbol saat kampanye untuk menjadi identitas paslon.

Lalu, apakah nomor urut paslon mempunyai pengaruh untuk menggaet pemilih dan meraup bunyi di Pilkada Serentak?

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyebut nomor urut paslon tak mempunyai pengaruh apapun. Bahkan, kata dia, nomor urut hanya sekadar menjadi penanda di kertas suara.

Dedi mengatakan dari beragam survei, termasuk nan dilakukan IPO, tak pernah ada bukti konkret soal pengaruh nomor urut terhadap kemenangan paslon.

"Jadi hanya berangkaian dengan memudahkan orang untuk menentukan pilihan. Bahkan seandainya pun tidak ada nomor urut sekalipun, lantaran pemilihan kita memilih secara langsung maka orang dan foto sebenarnya itu sudah cukup," kata Dedi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (23/9).

Dedi menyebut nan menjadi salah satu poin dalam gelaran Pilkada adalah ketenaran paslon. Karenanya, jikapun paslon mendapat nomor urut satu tapi tak mempunyai popularitas, maka itu tak ada artinya.

"Dalam catatan Pilkada di Indonesia, tidak ada tokoh nan memenangi kontestasi secara mendadak," ucap dia.

"Artinya tokoh baru datang lampau kemudian hanya mengandalkan kampanye di masa nan diberikan oleh KPU lampau memenangkan kontestasi itu tidak ada di Indonesia, nyaris semua nan menang lantaran aspek memang popularitasnya sudah terbangun," imbuhnya.

Kata Dedi, nomor urut seorang calon baru bakal berakibat pada kontestasi Pileg. Sebab, ada banyak calon nan maju dalam kontestasi tersebut.

Karenanya, dengan nomor urut tersebut bisa memudahkan calon untuk mempromosikan diri. Selain itu, juga bisa memudahkan pemilih untuk memilih calon nan dipilihnya.

"Tetapi dengan konteks Pilkada saya kira tidak banyak berpengaruh apalagi tidak ada pengaruhnya selain hanya sebatas penanda di kertas bunyi semata," ujarnya.

Senada, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan dalam konteks Pilkada, pengaruh nomor urut dari pasangan calon terbilang minim.

Hal ini berbeda dengan kontestasi Pilpres dan Pileg nan digelar serentak beberapa waktu lalu.

"Kalau dalam konteks Pilkada pengaruhnya minimalis," kata Agung.

Namun, Agung berpandangan jika tim sukses (timses) paslon bisa mengolah nomor urut itu dengan baik, maka bisa saja menimbulkan akibat pada perolehan suara.

Karenanya, Agung menyebut nan diuji dalam perihal ini adalah soal gimana produktivitas dari timses masing-masing paslon.

"Karena ini memang akhirnya tergantung produktivitas kandidat untuk mengatur ataupun mengelola setiap nomor urut nan diberikan kepada mereka," ucap Agung.

"Jadi pengarahan strategis untuk pengaruhnya seberapa besar alias mini itu tergantung timses alias tim mereka untuk merespon itu dengan sekreatif mungkin," sambungnya.

Faktor Penentu Kemenangan

Di sisi lain, Agung menyampaikan nan menjadi aspek penentu kemenangan di Pilkada adalah soal personalitas dari kandidat.

Sebab, kata dia, nan menjadi ujung tombak adalah rekam jejak, visi misi, hingga program nan diusung oleh paslon.

"Jadi citranya, kemudian programnya dan nan ketiga nan paling utama isu-isu nan di sekitar mereka, gimana itu dikelola dan bisa menjadi amunisi efektif untuk meningkatkan elektabilitasnya," kata dia.

Namun, lagi-lagi Agung beranggapan produktivitas dari timses paslon menjadi penting. Alasannya, lantaran banyak pemilih merupakan kaum milenial dan Gen Z.

"Kreativitas mereka mempersuasi pemilih agar tertarik memilih mereka, apakah di media sosial, apakah di media online, cetak, elektronik, apakah di darat, blusukan, canvassing, door to door, seperti itu, produktivitas dituntut betul sehingga memberikan 'wow faktor' nan oke," tutur dia.

Sementara itu, Dedi juga menyebut ketenaran menjadi kunci bagi paslon untuk bisa memenangkan Pilkada.

Namun, dia mengingatkan ketenaran itu tetap kudu dibarengi dengan reputasi dari paslon. Sebab, jika hanya bermodalkan popularitas, kemenangan belum tentu bisa digapai.

"Popularitas dengan reputasi nan benar, artinya reputasinya memang sebagai kepala daerah, kemudian punya catatan nan bagus, kemudian reputasi nan baik, ini punya kesempatan menang jika hanya mengandalkan ketenaran semata tanpa ada reputasi saya kira juga bakal sulit," ujarnya.

Dedi juga menuturkan paslon di Pilkada kali ini tak bisa sekadar mengandalkan promosi program selama masa kampanye. Ini merupakan pengaruh dari situasi politik nan terjadi setelah Pilpres beberapa waktu lalu.

"Saya kira jauh lebih krusial justru melakukan pendekatan secara personal, meskipun kita hidup di era digital, saya kira sentuhan individual itu penting, kenapa, lantaran aspek pemilihnya nan sudah terpecah belah, pemilihnya nan sudah terkooptasi dengan situasi politik nasional," tutur Dedi.

"Ini adalah era di mana gimik politik bakal jauh lebih dominan menentukan keterpilihan, dibandingkan promosi program meskipun bombastis," imbuhnya.

(dis/isn)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional