Pakar Hukum: Golput Tak Salah, Termasuk Hak Politik

Sedang Trending 5 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti menegaskan tidak memilih namalain golput merupakan corak kewenangan politik dari penduduk negara. Ia menegaskan golput bukan sesuatu nan salah.

Hal itu disampaikan Bivitri saat menjadi pembicara dalam agenda obrolan publik 'Aksi Coblos Semua Paslon sebagai Perlawanan atas Politik Boneka Jokowi-Prabowo' nan diadakan secara daring, Senin (23/9).

"Kalau sekarang kita mau golput, itu salah enggak sih? Jawaban lugas saya adalah tidak salah. Saya mau yakinkan kawan-kawan semua di sini, satu pesan, tidak memilih itu bukan pidana teman-teman," ujar Bivitri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan undang-undang, memilih dan tidak memilih merupakan kewenangan politik warga. Ketentuan di Indonesia berbeda dengan sistem pemilihan Australia nan mewajibkan penduduk untuk memilih.

"Prinsipnya adalah memilih itu kewenangan politik, sehingga tidak memilih juga kewenangan politik. Kita enggak seperti di Australia misalnya jika enggak memilih ada denda," imbuhnya.

Pakar norma tata negara ini menjelaskan perbuatan nan masuk tindak pidana adalah memaksa orang lain dengan kekerasan untuk tidak memilih. Jika sekadar mensosialisasikan golput, kata dia, bukan merupakan perbuatan melanggar hukum.

"Kalau sekadar ngomong teman-teman, golput itu enggak apa-apa. Itu saya enggak bisa kena pidana. Saya hanya menjelaskan Pasal dalam Undang-undang kok. Terserah teman-teman kelak mau pakai kewenangan pilih alias tidak. Tapi, saya mau yakinkan bahwa tidak memilih tidak kena pidana," ucap Bivitri.

"Di beberapa negara, itu ada nan namanya NOTA, None of the Above. Jadi, ada pilihan di surat bunyi nan bilang bahwa saya enggak mau milih semuanya. Itu lah demokrasi," sambungnya.

Sementara itu, Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menjelaskan dalam terminologi kepemiluan, golput disebut sebagai abstain alias memilih untuk tidak menggunakan kewenangan pilih. Kata dia, tidak memilih bukan merupakan tindak pidana.

"Kalau kita lihat di dalam bangunan Undang-undang Dasar kita, Undang-undang Pemilu kita, Undang-undang HAM kita, itu bagian dari penyelenggaraan asas tadi: bebas, jujur, adil, lantaran mau menegakkan asas," ungkap Titi.

"Nah, apakah dia dilarang? Tidak ada satu pun pasal di dalam Undang-undang HAM dan Undang-undang Pemilu ataupun Undang-undang Pilkada kita, lantaran kita bicara Pilkada, nan menyatakan jika protes voting itu bisa dipidana," lanjut dia.

Titi menjelaskan memang ada ancaman pidana untuk membujuk memilih alias tidak memilih. Hanya saja, perihal itu kudu disertai dengan perbuatan melawan norma seperti suap.

Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 187 A UU Pilkada nan menyebut ancaman pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling lama Rp1 miliar.

"Aspek pidananya itu jika disertai oleh kekerasan, oleh iming-iming, oleh intimidasi, dan juga oleh penyebaran hoaks," tuturnya.

(ryn/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional