Panggung Pujian, Media Sosial, dan Fenomena Marak Tawuran Remaja

Sedang Trending 6 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Tawuran antar golongan remaja marak terjadi di Jabodetabek. Dalam dua bulan belakangan, terjadi beberapa peristiwa nan menimbulkan korban luka hingga meninggal dunia. Penemuan 7 jenazah di Kali Bekasi kemarin ditengarai mengenai tawuran. Korban diduga loncat ke sungai menghindari razia petugas.

Nyawa melayang sia-sia lantaran tawuran bukan kali ini saja. Pada 8 September lalu, seorang pelajar SMK meninggal bumi dalam tawuran antar geng di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Polisi menangkap dua pelaku nan juga tetap remaja.

Sementara itu, pertengahan Agustus lalu, di Bogor, Jawa Barat, tawuran antargeng motor menewaskan seorang remaja akibat terkena sabetan celurit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sejumlah pemberitaan di media, sudah banyak korban tewas dan luka lantaran tawuran nan rata-rata dilakukan oleh para remaja ini.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan berasas sejumlah studi, motif kekerasan nan dilakukan anak dan remaja berbeda dengan kekerasan nan dilakukan orang dewasa.

Anak dan remaja, kata dia, melakukan kekerasan lantaran mencari identitas diri. Devie mengatakan anak dan remaja butuh panggung, pujian, dan perhatian. Ketika tiga perihal itu tidak didapatkan di rumah, sekolah, dan lingkungan sosial, maka remaja mencarinya di jalanan.

"Mereka rata-rata satu tujuannya, identitas diri, lantaran mereka butuh panggung, pujian dan perhatian Ketika mereka tidak mendapatkan 3P tadi itu di rumah, di sekolah, dan lingkungan sosial, maka jalanan menjadi arena terbuka nan bisa memberikan 3P tadi, salah satunya lewat tindakan kekerasan," kata Devie kepada CNNIndonesia.com, Senin (23/9).

Menurutnya, kemajuan teknologi membikin kemauan para remaja untuk mendapat panggung, pujian, dan perhatian semakin terfasilitasi. Apalagi, kemajuan teknologi membikin tayangan kekerasan bisa menginspirasi untuk melakukan kekerasan.

"Apalagi sekarang adanya teknologi, itu memfasilitasi betul, pujiannya bakal semakin luas, mereka bisa broadcast, sehingga mereka mendapat perhatian lebih," ujarnya.

Devie menyoroti budaya di keluarga-keluarga di Indonesia nan jarang memuji anak. Ketika anak tidak mendapat pujian di rumah, dia bakal melakukan langkah mencari pujian di luar.

"Makanya mereka melakukan kekerasan nan sadis lantaran biar mereka dikenal, dikenang, dan dipuji," katanya.

Sementara itu, sekolah-sekolah di Indonesia tidak menyediakan pilihan ekstrakurikuler nan cukup. Devie menuturkan di beragam negara, sekolah-sekolah menyediakan banyak pilihan ekstrakurikuler untuk mewadahi para remaja nan sedang mencari identitas dan punya daya lebih.

"Di Indonesia itu ekskul hanya itu-itu saja," kata Devie.

"Kalau di luar negeri itu dibuatkan gengnya. Geng main game saja macam-macam. Mereka semua diberikan panggung oleh sekolah. Semua anak jadi sibuk, mereka punya geng sendiri nan positif dan produktif. Itu saja di luar negeri tetap ada geng di jalanan, sudah segitu difasilitasinya, apalagi di kita?" imbuh dia.

Ia pun menilai selama anak dan remaja tidak mendapat pujian, perhatian dan panggung di rumah, sekolah dan lingkungan sosial, tindakan kekerasan di jalanan tidak bakal berhenti.

Peran banyak pihak

Butuh peran semua pihak untuk menghilangkan tindakan kekerasan pada remaja, bukan hanya pihak sekolah.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema berpandangan lembaga pendidikan selama ini sudah berupaya untuk mengurangi tindakan kekerasan, terutama di sekolah.

Namun, lembaga pendidikan, menurutnya tidak bisa mengawasi ketika kekerasan terjadi di luar sekolah. Ia mengatakan perlu peran banyak pihak, termasuk pemerintah setempat.

"Orang tua dan pemda, serta masyarakat. Sejauh ini lembaga pendidikan sudah bekerja keras mengurangi kekerasan di sekolah, tapi ketika terjadi di luar sekolah, maka secara teknis sekolah tidak bisa atasi secara langsung," kata Doni.

Menurut Doni, aspek penyebab tawuran sangat kompleks. Ada nan lantaran masalah pribadi, geng, musuh bebuyutan sekolah, hingga bentrok lama antarkampung.

"Jadi untuk menyelesaikan persoalan tidak bisa umum, tapi kudu pelajari kasus per kasus lantaran persoalan sangat kompleks dan banyak faktor," katanya.

Kasus tawuran alias bentrok antarkelompok kerap terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Tak jarang pelaku apalagi memamerkan tindakan tawuran mereka di media sosial. 

Kasus terus terjadi meski polisi terus menangkap para pelaku dan membubarkan paksa tindakan tawuran. 

(yoa/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional