TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Masyita Crystallin meminta pemerintah mewaspadai kenaikan impor nan berkelindan dengan penurunan purchasing managers index (PMI). Pada kuartal III-2024, impor peralatan modal dan bahan baku masing-masing meningkat sebesar 10,9 persen dan 13,7 persen, sedangkan peralatan konsumsi turun -4,5 persen.
Kenaikan impor itu bertolak belakang dengan PMI nan menurun dari 50,7 pada Juni menjadi 49,2 pada September alias kuartal III-2024. Kondisi ini disebut mencerminkan tekanan pada sektor industri.
“Peningkatan impor bahan baku dan peralatan modal memang mencerminkan kebutuhan industri nan terus tumbuh, tetapi penurunan PMI menunjukkan adanya tekanan struktural nan perlu segera diatasi,” kata Masyita dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 22 November 2024.
Penurunan ini juga diiringi sejumlah PHK dan penghentian operasi beberapa perusahaan selama periode tersebut. Sementara, indeks penjualan ritel juga turun sebesar -2,9 poin pada September 2024 dibandingkan Juni.
Masyita mengatakan kebijakan pemerintah kudu bisa menjaga konsumsi masyarakat untuk memastikan stabilitas lapangan kerja. “Penurunan konsumsi ini perlu diperhatikan serius lantaran dapat menekan daya beli masyarakat dan meningkatkan kerentanan ekonomi kelas menengah,” kata Masyita.
Sementara itu, Masyita juga menyoroti ekspor Indonesia nan tetap mendominasi pasar Cina, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Uni Eropa, dengan komoditas batu bara, minyak kelapa sawit, dan produk manufaktur. Ekspor ke beberapa negara menunjukkan peningkatan signifikan, seperti Vietnam sebesar 30 persen, Jepang 18,7 persen, dan AS 17 persen. Namun, ekspor ke Korea Selatan hanya tumbuh 12,7 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya.
“Ekspor kita ke pasar utama tetap menjadi tulang punggung ekonomi, namun perlambatan ekspor ke China dan Korea Selatan kudu menjadi perhatian,” kata Masyita.
Dia menyebut perlambatan ekspor nikel menjadi salah satu aspek penurunan ekspor ke China, nan hanya tumbuh 0,2% setelah beberapa kuartal sebelumnya mencatat penurunan. Dari sisi investasi, penanaman modal langsung didominasi oleh AS, Singapura, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, dengan sektor industri pengolahan sebagai penerima terbesar. Investasi di sektor ini tumbuh Rp 47,5 triliun alias naik 4,7 persen dibandingkan kuartal sebelumnya.
“Peningkatan investasi ini menjadi kesempatan besar, namun kita kudu memastikan pengelolaan nan optimal agar dampaknya betul-betul terasa di lapangan,” kata Masyita.