TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, menilai rencana pemerintah menggabungkan alias merger tujuh BUMN Karya menjadi tiga perusahaan berpotensi tidak efektif. Sebab, pola nan digunakan adalah menempelkan perusahaan sakit ke perusahaan nan secara finansial sehat.
“Ini sama saja memberikan beban kepada perusahaan nan secara finansial sehat tersebut,” ujar Herry saat dihubungi Tempo, Sabtu, 13 Juli 2024.
Kementerian BUMN berencana menggabungkan tujuh BUMN Karya menjadi tiga perusahaan. Tujuh perusahaan pelat merah bagian prasarana itu ialah PT Hutama Karya, PT Waskita Karya Tbk. (WSKT), PT Pembangunan Perumahan Tbk. (PTPP), PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA), PT Adhi Karya (ADHI) Tbk., PT Brantas Abipraya, dan PT Nindya Karya.
Herry merincikan, dalam penggabungan itu, Hutama Karya bakal ikut menyelesaikan beban Waskita Karya. Sementara PTPP ikut membantu masalah Wijaya Karya. “Bisa-bisa, nan sudah sehat malah tertular virus dari perusahaan nan sakit,” kata Herry.
Dia mengungkit, Wijaya Karya nan sehat pun akhirnya mengaku terseret proyek kereta sigap nan membuatnya jadi rugi. Sepanjang 2023, perusahaan bangunan pelat merah itu menderita kerugian hingga Rp 7,12 triliun.
Herry menilai, rencana pembentukan Holding BUMN Karya ini hanya bermaksud jangka pendek. Menurut dia, ada kecenderungan pemerintah mau lepas tangan dengan menyerahkan BUMN nan sakit untuk diurus oleh BUMN nan sehat.
Ujungnya, kata dia, penyerahan tanggung jawab ini bakal membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, kas negara kudu menambal kebutuhan dengan Penyertaan Modal Negara (PMN). “Sekarang saja sudah terus-terusan modalnya ditambal oleh pemerintah, kata dia.
Iklan
Herry mengatakan, satu contoh jelek dari kasus seperti ini adalah Indonesia Financial Group (PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia), induk perusahaan Jiwasraya. Sejak dikukuhkan menjadi holding asuransi pada 2020 hingga saat ini, IFG selalu disuapi PMN triliunan.
Tak hanya itu, Herry memandang BUMN karya nan kinerjanya biru berpotensi menghadapi akibat reputasi lantaran digabung dengan BUMN sakit. Kalau Hutama Karya dan PTPP menerbitkan obligasi, kata dia, mereka bakal mempunyai akibat obligasi tinggi sehingga terkompensasi pada suku kembang mahal.
Herry juga menilai pemerintah terlalu sigap mengambil keputusan konsolidasi nan bermaksud jangka pendek. Pemerintah tak pernah menyampaikan hasil audit terhadap keahlian manajemen dari BUMN nan bermasalah. Padahal, dia menilai audit itu krusial agar perusahaan tidak jatuh ke kubangan nan sama di kemudian hari. “Kalau langsung digabung, sama saja nihil pertanggungjawaban,” kata dia.
Pilihan editor: Tanggapi Erick Thohir soal Merger BUMN Karya, PUPR Sebut Belum Terima Surat: Belum Dibahas
HAN REVANDA PUTRA