TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA) Indonesia sekaligus Analis Kebijakan Publik, Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan masyarakat mempunyai kewenangan penuh untuk menggugat dan menolak usulan kenaikan tarif jalan tol ke ranah hukum. Hal tersebut bisa dilakukan melalui sistem judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tubagus memandang langkah tersebut perlu dilakukan guna memastikan bahwa kebijakan kenaikan tarif tol, sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan konstitusi Indonesia. Menurutnya, kebijakan kenaikan tarif tol otomatis seringkali diberlakukan tanpa pertimbangan nan memadai.
Hal tersebut dapat melanggar sejumlah kewenangan konstitusional masyarakat. Selain menyulitkan secara ekonomi, sumber daya dan akomodasi publik sudah semestinya dikelola untuk kemakmuran rakyat.
"Sumber daya dan akomodasi publik kudu dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan hanya kepentingan bisnis,” ujarnya dalam keterangan tertulis nan diterima Tempo.
Adapun, argumen norma nan menurutnya bisa membikin masyarakat menggugat kenaikan tarif tol adalah lewat Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, kenaikan tarif tol nan tidak memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat dapat dianggap melanggar prinsip keadilan sosial dan bertentangan dengan tujuan penggunaan sumber daya untuk kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, adalah Pasal Pasal 28H UUD 1945. Tubagus berpendapat, Proses penetapan tarif nan tidak melibatkan publik serta tidak transparan berpotensi melanggar prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan nan baik, nan semestinya dijalankan dengan keterbukaan dan akuntabilitas.
Kemudian, Pasal 34 UUD 1945. Baginya, negara bertanggung jawab dalam memastikan kebijakan publik nan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Kenaikan tarif tol otomatis bisa dianggap mengabaikan tanggung jawab ini jika tidak diimbangi dengan pertimbangan nan mempertimbangkan keahlian ekonomi masyarakat.
Kemudian nan terakhir adalah UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Ia mengatakan kenaikan tarif tol kudu melalui pertimbangan nan mempertimbangkan inflasi dan kondisi ekonomi. Kenaikan otomatis tanpa pertimbangan nan mendalam bisa dipertanyakan keabsahannya secara hukum.
Iklan
Dalam keterangan tertulis lain dia mengatakan saat ini jalan tol tetap dipenuhi masalah seperti kemacetan, jalan rusak, dan akomodasi minim. Kenaikan tarif tanpa perbaikan signifikan adalah corak ketidakadilan bagi pengguna.
Karena itu, dia menyatakan penolakannya terhadap kenaikan tarif tol. Kenaikan tersebut juga meningkatkan biaya hidup dan memperburuk kondisi masyarakat nan sudah terdampak pandemi. Biaya transportasi nan naik bakal langsung berakibat pada nilai peralatan dan jasa, merugikan konsumen luas.
"Mendorong masyarakat untuk aktif memperjuangkan hak-haknya melalui jalur norma jika merasa dirugikan oleh kebijakan kenaikan tarif tol," katanya.
Sebelumnya, Kepala Divisi Regional Tol Metropolitan Jasamarga, Widiyatmiko Nursejati mengatakan bakal diberlakukan penyesuaian tarif tol dalam kota pada 22 September 2024. Penyesuaian tarif ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ( PUPR ) No.2130/KPTS/M /2024 tanggal 22 Agustus 2024 tentang Penyesuaian Tarif Tol.
Menurut Jasamarga Metropolitan Tollroad, penyesuaian tol sudah diatur dalam Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Pasal 68 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol dengan perubahan terakhir pada PP Nomor 17 Tahun 2021. Selain itu, izin lain nan mengatur soal penyesuaian tarif tol adalah PP Nomor 23 Tahun 2024 tentang Jalan Tol.
Pilihan Editor: Menteri Basuki Janji Diskon Tarif Jalan Tol di Libur Lebaran