TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM Agus Cahyono mengatakan pemanfaatan minyak kelapa menjadi bahan bakar pesawat ramah lingkungan alias bioavtur adalah memungkinkan.
“Secara teknis memungkinkan, SAF-Sustainable Aviation Fuel (bahan bakar penerbangan berkelanjutan) nan saat ini dikembangkan menggunakan bahan baku minyak goreng jejak (used cooking oil) alias dari lemak,” katanya saat dihubungi Tempo melalui aplikasi perpesanan, Selasa, 23 Juli 2024.
Ia mengatakan tetap menunggu penjelasan perincian pemanfaatan minyak kelapa untuk bahan bakar pesawat dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM.
Melansir The International Air Transport Association (IATA), dijelaskan karakter kimia dan bentuk SAF nyaris identik dengan bahan bakar jet konvensional dan dapat dicampur secara kondusif dengan bahan bakar jet konvensional pada tingkat nan berbeda-beda, menggunakan prasarana pasokan nan sama dan tak memerlukan penyesuaian pesawat alias mesin.
Bahan bakar dengan sifat-sifat ini disebut “bahan bakar drop-in”, ialah bahan bakar nan dapat secara otomatis dimasukkan ke dalam sistem pengisian bahan bakar airport nan ada. Selain itu, untuk menggunakan istilah “berkelanjutan” secara valid, kudu memenuhi kriteria keberlanjutan seperti pengurangan emisi karbon dalam siklus hidup, terbatasnya kebutuhan air bersih, tidak ada persaingan dengan produksi pangan nan dibutuhkan (seperti biofuel generasi pertama) dan tidak ada deforestasi.
Sebelumnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menggandeng perusahaan asal Jepang dalam pengolahan minyak kelapa nan digunakan apalagi diolah dari nan non-standar namalain tak layak jual untuk bioavtur.
Iklan
Pengembangan produksi bioavtur dari kelapa non-standar ini sudah masuk dalam tahap pembangunan pabrik di Banyuasin, Sumatera Selatan. BRIN dan PT ABE Indonesia bekerja-sama dengan Green Power Development Corporation of Japan untuk industri bioavtur tersebut.
Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN, Mego Pinandito menerangkan bahwa kelapa non-standar sudah diakui kelayakannya oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Pengakuan ini dianggap Mego berakibat baik terhadap perkembangan industri dalam negeri Indonesia.
"Masuknya kelapa non-standar ke dalam positive list bakal membuka kesempatan bagi negara-negara penghasil kelapa termasuk Indonesia, untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon di sektor penerbangan," kata Mego, dikutip dari keterangan resminya, Jumat, 19 Juli 2024.
BAGUS PRIBADI | ALIF ILHAM FAJRIADI
Pilihan Editor: Nilai Ekspor Kelapa Capai US$ 1,55 Miliar, Jokowi Ingin Produksinya Ditingkatkan dan Hilirisasi