Ragam Penolakan Kenaikan PPN, dari Seruan Boikot Pajak hingga Mogok Massal

Sedang Trending 3 jam yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah memutuskan meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11 persen menjadi 12 persen pada tahun depan. Kenaikan PPN tersebut merupakan amandat langsung dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Tak sedikit masyarakat nan terkejut mendengar berita PPN 12 persen tersebut. Mirip dengan “Peringatan Darurat” beberapa bulan lalu, belakangan tagar Tolak PPN 12 Persen juga ramai menjadi kata kunci nan banyak diperbincangkan di media sosial X. Bahkan, tagar tersebut tetap terus menjadi tren hingga hari ini.

Merujuk hasil kajian dari Drone Emprit nan dipublikasi di akun X mereka, sentimen netizen di media sosial terhadap kenaikan PPN luar biasa negatif. Tercatat, 79 persen dari respon masyarakat memberikan sentimen nan negatif terhadap rumor ini.

Bahkan, menurut Drone Emprit, muncul potensi ataupun rayuan boikot dari masyarakat untuk tidak bayar pajak. Selain itu, muncul juga banyak rayuan untuk mengetatkan pengeluaran dan menurunkan tingkat konsumsi sehari-hari. Hal nan dikhawatirkan oleh para ahli ekonomi sebagai kejadian underconsumption.

Gerakan Tolak PPN 12 Persen di X pertama kali digaungkan oleh akun @BudiBukanIntel. Dalam sebuah kreasi gambar nan dia publikasi di akunnya, dia mengatakan bahwa menarik pajak tanpa timbal kembali untuk rakyat adalah sebuah kejahatan. Kalimat tersebut diadaptasi dari semboyan “taxation without representation is a crime” nan sering terdengar di bagian bumi barat.

Tidak hanya di bumi digital, penolakan juga disuarakan oleh rakyat secara langsung, salah satunya adalah golongan pekerja. Partai Buruh, sebagai satu-satunya partai politik nan digerakkan oleh kelas pekerja, menolak dengan tegas wacana PPN 12 persen dan menakut-nakuti bakal mogok massal jika kenaikan PPN tidak segera dibatalkan.

“Kenaikan PPN menjadi 12 persen bakal berakibat langsung pada nilai peralatan dan jasa nan semakin mahal. Di sisi lain, kenaikan bayaran minimum nan mungkin hanya berkisar 1 persen hingga 3 persen tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat,” ujar Presiden Partai Buruh, Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (Ditejen Pajak), Kementerian Keuangan Dwi Astuti sebelumnya menyatakan pendapatan dari penerapan PPN 12 persen bakal turut dirasakan masyarakat.

Penerapan tarif pajak pertambahan nilai, kata dia, semestinya tidak melulu dilihat dari kenaikannya. “Hasil dari kebijakan penyesuaian tarif PPN bakal kembali kepada rakyat dalam beragam bentuk,” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 22 November 2024.

Dwi memaparkan, penerimaan negara dari tarif PPN baru nan bertindak pada 2025 bakal kembali ke masyarakat melalui beberapa program. Di antaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. “Juga subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk” kata dia.

Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan tulisan ini.

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis