Said Abdullah: Pilkada Kontestasi Demokratis, Bukan Permusuhan Politik

Sedang Trending 6 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua DPP PDI-Perjuangan, Said Abdullah menegaskan, kerja sama politik dalam Pilkada kudu dipahami sebagai sebuah kontestasi demokratis, bukan arena permusuhan.

Demikian disampaikan Said menjawab beragam pertanyaan mengenai daerah-daerah di mana calon kepala wilayah dan wakil kepala wilayah nan diusung oleh PDI-P dianggap berhadapan dengan calon-calon dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

"Kita kudu memandang bahwa kerja sama politik dalam pilkada kudu kita maknai sebagai kontestasi demokratis, bukan sebuah permusuhan politik. Cara pandang ini kudu klir lebih dulu," kata Said dikutip Senin (23/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Said, Pilkada merupakan jalur demokratis dan konstitusional untuk memilih pemimpin daerah. Setelah Pilkada usai, pihak-pihak nan sebelumnya berkompetisi semestinya dapat berasosiasi kembali dan bekerja sama untuk membangun wilayah sesuai peran masing-masing.

Said menambahkan bahwa terbentuknya kerja sama politik dalam Pilgub di sejumlah wilayah oleh KIM, alias apalagi KIM Plus, kudu dilihat dalam konteks politik pasca-Pilpres dan sebelum munculnya Putusan MK No. 60 pada 20 Agustus 2024.

"Kalau saya baca, saat itu memang ada sejumlah kemauan dari sejumlah elit politik nan mau mengulang kesuksesan pada pilpres dalam pilkada. Namun setelah munculnya Putusan MK No. 60 tahun 2024, dan munculnya sejumlah figur calon kepala daerah, peta politik telah berubah," ujarnya.

Ia mencontohkan pemilihan gubernur Jakarta, di mana rencana awal untuk menggeser Ridwan Kamil dari Jawa Barat ke Jakarta, dengan tujuan menghadapi alias seakan-akan menghadang Anies Baswedan, berubah dengan munculnya sosok Pramono Anung.

"Figur Mas Pram menjadi titik jumpa antara Pak Jokowi, Pak Prabowo dan Ibu Mega. Fakta politik baru inilah nan kudu kita cermati, agar tidak semata mata terpaku pada kerjasama politik formalistik," katanya.

Demikian juga dengan munculnya figur Andika Perkasa di Jawa Tengah. Apapun itu, Andika itu pernah menjadi "simbol" lantaran pernah menjabat pucuk ketua TNI. Latar belakangnya juga tidak bisa dianggap remeh.

"Saya kira situasi ini juga mengubah peta Pilkada di Jawa Tengah. Apalagi Pak Andika juga berasosiasi baik dengan Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Bahkan Pak Andika pernah menjadi pembantu Pak Jokowi saat menjabat Komandan Paspampres nan menjaga 24 jam Pak Jokowi saat bekerja ataupun tidak bertugas," ujarnya.

Dengan demikian, Said menekankan kontestasi Pilkada adalah soal figur nan 'dijual' kepada rakyat, figur nan mencakup prestasi, rekam jejak, keahlian komunikasi politik dengan pemilih, strategi pemenangan, support logistik, dan jaringan sosial.

"Tidak bermaksud mengerdilkan partai partai pengusung, namun apapun itu, pemilih tetap memandang figur nan di usungnya," katanya.

Selanjutnya, kata Said, dalam survei sering muncul kejadian split ticket voting, di mana pendukung partai A bisa saja memilih kandidat dari partai B lantaran dianggap lebih memenuhi angan mereka.

"Faktor split ticket voting dalam pilkada ini cukup besar. Sebab belum tentu aras elit sejalan dengan aspirasi grassrootnya, mempertimbangkan situasi seperti ini, saya kira pilkada bakal semakin dinamis. Dengan demikian kita tidak bisa terpaku hanya formalitas kerja sama politik," ujarnya.

(inh)

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional