TEMPO.CO, Jakarta -Pengusaha Jusuf Hamka menyambangi kediaman mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud Md, di Patra Kuningan, Jakarta Selatan, pada Sabtu pagi, 13 Juli 2024. Dalam pertemuan nan berjalan sekitar 90 menit itu, Jusuf mengaku berbincang dan meminta rekomendasi kepada Mahfud atas utang-piutang negara terhadap dirinya nan belum rampung.
Kepada Mahfud, Jusuf mengatakan mau mengusulkan gugatan class action atas perkara utang negara. Dia menyebut latar belakang gugatan itu adalah surat Mahfud Md sebagai Menkopolhukam kepada Menteri Keuangan agar negara bayar utang kepada Jusuf. Dalam surat itu, kata Jusuf, Mahfud memberikan tenggat hingga Juni 2024. “Saya konfirmasi ke Pak Mahfud, dan benar," kata Jusuf kepada Tempo saat ditemui di area Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 13 Juli 2024.
Jusuf berencana menagih utang Rp 800 miliar ke pemerintah. Utang tersebut mengenai simpanan PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) Rp 78 miliar di Bank Yakin Makmur (Yama). Bank Yama kandas mengembalikan simpanan tersebut saat krisis moneter 1998. PT Citra Marga Nusaphala Persada merupakan perusahaan upaya jalan tol.
Jusuf bercerita dalam pertemuan itu Mahfud Md mengaku bertanya kepada ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas utang-piutang ini. Menurut Jusuf, Mahfud saat itu berujar kejadian tarik-ulur bos jalan tol dengan negara itu termasuk korupsi dan bisa dipidana. “Pak Mahfud pernah menanyakan ke salah satu ketua KPK, Pak gimana jika ceritanya seperti ini, itu korupsi, memperkaya orang lain, merugikan negara, unsur korupsi,” kata Jusuf.
Oleh lantaran itu, Jusuf berbareng penasihat hukumnya, Hamid Basyaid, berencana bakal melancarkan gugatan class action atas kasus ini. Gugatan ini merupakan jenis gugatan perdata atas kerugian nan disebabkan oleh pihak lain. “Itu kenapa saya mau gugat class action. Itu juga melanggar HAM, itu kewenangan asasi kami,” kata dia.
Selain itu, Jusuf menyebut Mahfud Md juga memberikan keterangan jika peristiwa utang-piutang dirinya dengan negara ini merupakan corak tindak pidana. Salah satu celahnya, kata dia, negara menghalangi kewenangan penduduk negara sehingga merugikan negara sendiri. “Dia bisa dipidana. Keputusan norma saja tidak ditaati. Sudah ada kompromi, tau-tau dibatalkan juga,” kata dia.
Iklan
Jusuf menilai kejadian ini terjadi lantaran tak ada kesetaraan negara dan penduduk dalam sengketa utang-piutang. Dia menyebut peristiwa nan sering terjadi bahwa negara bisa merampas kekayaan milik penduduk andaikan tak bisa bayar hutang, tapi penduduk ke negara tak demikian.
“Negara jika punya piutang ke warga, negara bisa memaksa, menyandera, memblokir rekening, menyita barang-barang, tapi penduduk ke negara tidak bisa. Itulah norma kita,” kata dia. Oleh lantaran itu, Jusuf menyebut gugatan class action ini bermaksud untuk menyetarakan posisi negara dan penduduk dalam sengketa utang-piutang.
Dalam keterangan terpisah, penasihat norma Jusuf, Hamid Basyaid, mengatakan dirinya tetap mempersiapkan secara matang rencana gugatan ini. Dia juga belum memberikan jumlah perincian berapa utang negara ke Jusuf nan tak dibayar. “Semua tetap digodok matang-matang,” kata Hamid saat dihubungi pada Sabtu sore hari ini.
Namun, dalam keterangannya usai mendampingi Jusuf berjumpa Mahfud, Hamid mengatakan kasus utang-piutang kliennya dengan negara ini lantaran ada patokan nan tak simetris, terutama negara dan penduduk negara nan berangkaian dengan utang. Oleh lantaran itu, rencana gugatan class action ini bakal diajukan. “Jadi kita mau uji judicial review (JR) bahwa jika negara berhutang kepada penduduk negara dan itu banyak sekali," kata Hamid.
Pilihan editor: Jusuf Hamka Soroti Soal Kemiskinan dan Kesulitan Pendidikan di Jakarta