TEMPO.CO, Jakarta - Deflasi lima bulan beruntun tidak menjadi satu-satunya parameter melemahnya daya beli masyarakat. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan sejumlah parameter lain menunjukkan pelemahan keahlian konsumsi masyarakat.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 minus 0,12 persen (MtM). Angka ini sekaligus menunjukkan tren deflasi nan terus bersambung selama lima bulan terakhir sejak Mei 2024.
Mengenai deflasi, Tauhid memaparkan kondisi itu bisa dilihat dari volatile food alias kategori pangan bergolak seperti daging ayam ras, telur, hingga bawang merah. Kategori tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat nan semestinya tetap dikonsumsi, meski harganya mengalami perubahan.
“Tapi ketika masyarakat tidak punya daya beli, akhirnya dia tidak sanggup dan mengakibatkan nilai turun. Dan itu menjadi deflasi,” terang Tauhid kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2024.
Selain deflasi tersebut, dia menyitir info Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia nan pada September 2024 ambruk ke area kontraksi 49,2. Kontraksi sudah terjadi sejak Juli.
Menurutnya, nomor PMI manufaktur di bawah 50 menunjukkan peralatan nan dijual lebih sedikit daripada input nan dibeli oleh industri. Artinya, ada stok berlebih dari industri lantaran minimnya pembeli. Namun, kata Tauhid, saat ini kondisi itu tidak hanya terjadi di Indonesia.
“Lalu ada nomor pembelian kendaraaan roda dua, itu kontraksi minus hingga 4,1 persen. Selain itu laju angsuran juga minus,” terangnya.
Iklan
Di sisi lain, aspek nan menurutnya menjadi parameter melemahnya daya beli adalah penurunan peserta BPJS Ketenagakerjaan. Berdasarkan info BPJS Ketenagakerjaan periode Januari 2023-Mei 2024, ada penurunan tren peserta aktif sebesar 4,27 persen di sektor garmen dan busana jadi.
Tauhid menilai penurunan bisa terjadi lantaran adanya PHK. Namun, di sisi lain juga bisa terjadi lantaran peserta dari sektor informal, nan bayar secara berdikari bukan lewat perusahaan, sengaja menghentikan keanggotannya lantaran menurunnya pendapatan.
Kondisi ini, menurutnya, terjadi baik di kalangan bawah maupun kalangan menengah masyarakat Indonesia. Kondisi itu diperparah dengan kejadian makan tabungan.
“Dilihat dari data-data LPS, saya kira menunjukkan bahwa nan tadinya buat saving kudu diambil buat kebutuhan sehari-hari. Masyarakat kudu mengencangkan ikat pingganya lagi,” pungkasnya.
Pilihan Editor: Soal Iuran Tapera di Era Prabowo, BP Tapera: Belum Tahu Tahun Depan alias Kapan, Kita Harus Siapkan Dulu