TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan penduduk nan tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak Geothermal melakukan tindakan di depan instansi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Rabu, 17 Juli 2024. Mereka menolak pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di daerahnya.
Perkumpulan terdiri dari penduduk nan tinggal di beberapa letak pengembangan, seperti Flores NTT, Mandailing Sumatera Utara, dan Padarincang Banten.
Kristianus Jaret, salah satu personil tindakan mengatakan rencana pengembangan geothermal berpotensi merugikan masyarakat lokal. Warga Poco Leok, Flores Nusa Tenggara Timur itu tegas menolak pembangunan PLTP di desanya. “Saat ini PLN sudah menggencarkan pengadaan lahan, ini ditentang oleh 90 persen warga,” ujarnya ditemui di depan gedung Dirjen EBTKE Kamis, 17 Juli 2024.
Menurut dia, proyek geothermal sudah datang di Flores sejak 2011 lewat beroperasinya PLTP Ulumbu. Saat ini ada rencana ekspansi PLTP ke wilayah lain ialah Poco Leok dan progres terkini adalah pengadaan lahan. Ia menyatakan setidaknya ada 14 kampung budaya nan menolak kehadiran tambang panas bumi di area tersebut.
Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Manggarai, rencana pengembangan area PLTP Ulumbu sudah melalui tahap sosialisasi. Pada 13 Juni 2024, otoritas setempat mempertemukan penduduk dengan PLN. Pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 Poco Leok disebut untuk memenuhi kebutuhan daya listrik bagi masyarakat, baik rumah tangga dan industri.
Penolakan pengembangan poyek daya baru tersebut juga datang dari penduduk Padarincang, Banten. Tepatnya di area kaki Gunung Gede Pangrango. Dadang, salah satu penduduk lokal nan ikut tindakan juga menyatakan keberatan terhadap rencana operasi geothemal di daerahnya. Pemandu wisata Gunung Gede itu cemas proyek PLTP bakal menghilangkan penghasilan penduduk lokal akibat alih kegunaan lahan.
Dari laman Kementerian ESDM disebut bahwa pengembangan panas bumi di PSPE Cipanas sebagian area prospeknya berada di dalam area konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Dadang mengatakan proyek geothermal di daerahnya bakal memakai porsi lahan 3.180 hektare, nan bakal berakibat pada letak di Kabupaten Cianjur seperti Pacet, Cipanas dan Cugenang. “Kalau betul-betul terus dibangun, kemungkinan kewenangan rakyat sebagai petani bakal lenyap dengan adanya tambang geothermal,” ujarnya.
Iklan
Koordinator aksi, Alfarhat mengatakan daya rusak panas bumi tidak berbeda dengan tambang pada umumnya. Geothermal menurut dia adalah proyek strategis nan butuh banyak air. “Ketika dilaksanakan, maka potensinya merampas ruang hidup dan sumber air penduduk di lingkar operasi,” ujarnya ditemui di lokasi.
Anggota bagian kampenye jaringan pembelaan tambang (Jatam) itu mengatakan proyek geothermal juga butuh lahan dengan skala luas. Ia mencontohkan saat ini di Gunung Gede Pangrango konsesi nan diajukan untuk wilayah kerja panas bumi alias WKP mencapai 92 ribu hektare. “Warga tidak bakal bisa berkeliaran secara bebas lagi, lantaran penambangan panas bumi rakus air dan rakus lahan,” ujarnya lagi.
Jatam juga menilai proyek ini tidak transparan kepada masyarakat. Mereka menuntut Kementerian ESDM menghentikan eksplorasi dan operasi dari proyek-proyek penambangan nan tengah melangkah dan cabut seluruh izin tambang panas bumi di seluruh Indonesia.
Tempo mencoba mengkonfirmasi perihal tudingan koalisi penduduk mengenai masalah pada pengembangan pembangunan Geothermal, kepada Kementerian ESDM. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Eniya Listiani Dewi hanya menjawab singkat. “Saya baru landed,” ujarnya lewat aplikasi perpesanan, Rabu, 17 Juli 2024.
Hingga buletin ini ditulis, Eniya tidak merespons pertanyaan lanjutan nan dikirimkan kepadanya.
Pilihan Editor: Geothermal RI Terbesar Kedua Setelah Amerika, 7 Titiknya Berada di Sumsel