Warga Adat Uji Formil UU Konservasi SDA Hayati ke MK

Sedang Trending 6 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Perwakilan organisasi Masyarakat Adat dan organisasi masyarakat sipil melakukan gugatan uji formil UU 32/2024 alias UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan tersebut didaftarkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane atas support Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan.

Pengujian formil dilakukan lantaran banyak persoalan dalam konteks penyusunan UU KSDAHE nan tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, UU Pembentukan Peraturan Perundangan, dan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para pemohon dan koalisi untuk konservasi mengusulkan uji formil UU KSDHAE dilakukan dengan tiga argumen ialah tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan tidak memenuhi asas keterbukaan.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi beranggapan UU KSDAHE nan baru ini merupakan salah satu UU nan secara formil dibentuk tanpa partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat sebagai golongan masyarakat nan terdampak langsung.

"Selain itu, secara substansi UU ini menegasikan keberadaan Masyarakat Adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan konservasi, apalagi berpotensi kuat merampas wilayah budaya dan kriminalisasi Masyarakat Adat melalui ekspansi preservasi," kata Rukka.

Pada konsideran UU 32/2024 tidak mempertimbangkan subjek norma ialah Masyarakat Adat nan ada dan hidup di wilayah konservasi. Padahal, andaikan dilihat langkah dan pola hidup Masyarakat Adat nan hidup di wilayah tersebut, Masyarakat Adat mengelola dan memanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang. Bahkan, tidak hanya mengelola dan memanfaatkan, melainkan juga menjaga kelestariannya.

"Artinya, pembentuk UU dalam menyusun UU 32/2024 tidak melibatkan pihak nan terdampak, serta pihak nan concern (mempunyai perhatian dan peduli) terhadap urusan Sumber Daya Alam Hayati Indonesia dan Ekosistemnya," ungkap Rukka.

Atas kondisi itu, dia menilai UU KSDAHE menjadi tidak mempunyai tujuan jelas nan hendak dicapai, seperti pemahaman ekosistem nan tidak menyentuh pada tingkat subjek norma nan berangkaian erat dengan ekosistem Sumber Daya Alam Hayati Indonesia ialah Masyarakat Adat dan organisasi lokal nan hidup di dalam dan sekitar area konservasi nan ditetapkan oleh negara.

Manajer Kajian Kebijakan WALHI Satrio Manggala menilai UU KSDAHE secara formil tidak sesuai dengan sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan UUD 1945.

"Asas keterbukaan berangkaian erat dengan proses partisipasi nan bermakna. Tanpa keterbukaan, maka tidak ada partisipasi nan bermakna," ujar Satrio melalui keterangan tertulis dikutip Senin (23/9).

Satrio menyampaikan catatan krusial dalam rumusan perubahan UU KSDAHE pada tanggal 25 Juni 2024 di Gedung DPR RI. Hingga hari ini, terang Satrio, DPR hingga hari ini tidak memberikan argumen maupun kejelasan mengenai penolakan terhadap masukan-masukan masyarakat sipil.

Senada dengan perihal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyatakan pengetahuan, budaya dan kearifan lokal masyarakat pesisir dan pulau-pulau mini dalam mengelola dan melakukan konservasi berbasis masyarakat secara berdikari tidak diakomodasi lantaran partisipasi berarti dihilangkan.

Menurut dia, UU KSDAHE secara jelas bertentangan dengan Hak Konstitusional Nelayan dan Masyarakat Pesisir sebagaimana tercantum dalam Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010.

"Beberapa di antaranya adalah kewenangan untuk mengakses laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sesuai budaya dan tradisi masyarakat, dan kewenangan untuk mendapatkan faedah dari pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan," jelas Susan.

Koalisi menambahkan pembentukan UU KSDAHE tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan terutama bagi Masyarakat Adat dan organisasi lokal sebagai subjek hukum.

Hal tersebut ditandai dengan beberapa persoalan substantif nan dapat dipastikan bakal muncul dan dialami Masyarakat Adat alias organisasi lokal nan hidup di dalam dan di sekitar area konservasi. Misalnya lebih banyak celah potensi terjadi kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi dan pengabaian terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan organisasi lokal nan hidup di dalam dan sekitar area konservasi.

Apalagi, di dalam UU KSDAHE tidak ada Pasal nan mengatur mengenai Padiatapa (persetujuan atas dasar info di awal tanpa paksaan) alias nan dikenal dengan FPIC (Free, Prior, Informed Consent) dalam Penetapan KSA, KPA, Areal Preservasi dan Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut.

Padahal, FPIC adalah perihal nan sangat krusial dan esensial dari kewenangan masyarakat budaya untuk menyatakan setuju alias tidak setuju terhadap segala sesuatu nan menyangkut wilayah adatnya tanpa paksaan.

Lebih lanjut, UU KSDAHE dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan. Koalisi mengaku tidak dapat mengakses arsip hasil rapat alias atau proses pembahasan UU 32/2024. Sesuai dengan prinsip partisipasi berarti (meaningful participation) di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR dan Pemerintah semestinya melibatkan Masyarakat Adat dan organisasi lokal, serta organisasi masyarakat sipil.

Atas dasar perihal tersebut, para pemohon dan Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan mendesak MK untuk membatalkan UU KSDAHE nan disusun tidak dengan kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan tertutup.

Setidak-tidaknya MK diminta untuk memerintahkan pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhadap UU KSDAHE dan melibatkan Masyarakat Adat, organisasi lokal dan pihak-pihak nan mempunyai konsentrasi pada konservasi.

(ryn/kid)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional