Jakarta, CNN Indonesia --
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Prof. Romli Atmasasmita menyampaikan kritik mengenai penanganan norma kasus Mardani H Maming nan dinilai mempunyai sejumlah kekeliruan serius.
Romli menyebut, setidaknya ada delapan kekeliruan nan bisa dikategorikan sebagai kesesatan mengenai penerapan hukum. Menurutnya, penuntutan kasus ini dipaksakan dengan penerapan pasal nan kurang tepat, ialah Pasal 12 b UU Nomor 20 tahun 2001 nan semestinya tak hanya menggunakan pendekatan normatif, melainkan dengan mempertimbangkan pendekatan wessensschau.
Menurut Romli, pasal tersebut bermaksud memberikan pengaruh pencegahan agar penyelenggara negara menjalankan tugas sesuai UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebelum menerapkan UU Tipikor Tahun 1999/2001.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi, pola pemikiran sistematis, historis, dan teleologis dalam putusan Kasasi perkara Nomor 3741/2023 atas nama Mardani Maming tidak dijalankan. Putusan tersebut sudah memenuhi argumen adanya novum serta kekhilafan alias kekeliruan nyata dari hakim," kata Romli.
Senada, Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof. Yos Johan Utama menyampaikan bahwa putusan kasus Mardani H Maming sarat kekeliruan. Melalui kajiannya, Prof Yos mengutarakan dugaan kekhilafan hakim, lantaran ketentuan nan dijadikan dasar tuduhan adalah pasal 97 ayat 1 Undang-Undang 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batubara adalah tidak tepat.
Pasalnya, larangan itu ditujukan hanya untuk pemegang IUP dan IUPK. Mengingat perkara nan menjerat Mardani H Maming adalah soal perizinan tambang, nan sejatinya telah melalui kajian dari wilayah hingga pusat.
Adapun IUP nan dikeluarkan disebut mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun. Dari persidangan, terungkap bahwa proses peralihan IUP ini telah mendapat rekomendasi dari Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu, bahwa proses tersebut sesuai dengan patokan UU nan berlaku, dilengkapi paraf dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben.
"Fakta yuridis menunjukkan bukti bahwa Mardani H Maming selaku bupati dan sekaligus pejabat tata upaya negara mempunyai kewenangan atributif menerbitkan IUP dan IUPK sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat 1 undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batubara," kata Prof Yos.
Untuk itu, Prof Yos beranggapan bahwa putusan pengadil dapat dikaji ulang, lantaran Mardani H Maming merupakan pihak nan mengeluarkan izin, bukan pemegang izin. Sehingga, Mardani semestinya tak bisa dijerat pidana sebagaimana nan diatur dalam UU.
Dalam kesempatan berbeda, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa vonis pidana terhadap Maming adalah perihal nan dipaksakan, tanpa ada perangkat bukti nan memadai. Baginya, sikap berat sebelah itu merupakan unfair trial.
"Bentuk miscarriage of justice nan paling mencolok adalah tidak dipenuhinya kewenangan atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap perangkat bukti nan dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi nan tidak langsung (testimonium de auditu) lantaran perihal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum daripada mempertimbangkan perangkat bukti lain nan menyatakan perihal sebaliknya," papar Todung.
(rea/rir)
[Gambas:Video CNN]