Curiga Kepentingan Penguasa di Balik Revisi UU Jelang Transisi Rezim

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendapat banyak kritik lantaran buru-buru mensahkan sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) nan mendapat kritik tajam dari publik. Mulai dari RUU Kementerian Negara, Mahkamah Konstitusi (MK), Penyiaran, hingga Kepolisian.

Pembahasan RUU tersebut nan dilakukan jelang transisi pemerintahan Joko Widodo ke Prabowo Subianto pada Oktober 2024 mendatang itu menuai perhatian masyarakat lantaran ada pasal kontroversial hingga waktu pembahasan nan sigap dan tidak transparan.

Di kembali gaduh pembahasan RUU oleh DPR tersebut, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus cemas ruang partisipasi publik dalam proses legislasi terancam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dampak utama proses pembahasan RUU tertentu nan dilakukan secara sigap dan terburu-buru adalah hilangnya ruang partisipasi publik nan semestinya menjadi syarat krusial dalam pembentukan legislasi," ujar Lucius kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Selasa (21/5).

Menurut dia, partisipasi publik itu hanya mungkin terjadi jika tersedia ruang nan leluasa untuk memahami urgensi, membaca draf RUU, memberikan masukan ke DPR, menunggu respons masukan nan diberikan, hingga keputusan final pada saat pengambilan keputusan di tingkat I maupun II.

Tahapan-tahapan di atas, terang Lucius, hanya bisa berjalan dalam sebuah situasi pembahasan nan tak tergesa-gesa. Distribusi info dari ruang pembahasan di DPR hingga publik di seantero Indonesia kudu dipastikan terlaksana dengan maksimal.

"Proses pembahasan dengan tahapan nan melibatkan publik itu nan akhirnya dikorbankan oleh DPR dalam skema pembahasan RUU-RUU MK, Kementerian Negara, Penyiaran, dan lain-lain," imbuhnya.

Lucius menilai DPR sok tahu alias tidak mau tahu dengan apa nan diinginkan oleh publik. Ia memandang sikap tersebut mungkin saja merupakan buah interpretasi nan keliru atas makna perwakilan rakyat nan menjadi identitas DPR.

Ia mengatakan akibat lanjutan dari kesoktahuan DPR itu adalah RUU nan dihasilkan bisa merugikan kepentingan rakyat bakal tata kelola pemerintahan nan demokratis, bersih, transparan, efektif dan efisien. DPR bakal menjadi perangkat kekuasaan, perangkat oligarki nan justru menyingkirkan rakyat nan diwakili.

"Jika DPR menjadi perangkat kekuasaan, maka kerakyatan kita sesungguhnya hanya tipu-tipu saja. Pemerintahan milik rakyat dalam kerakyatan hanya tinggal teori. Dalam situasi seperti ini, pemerintahan nan otoriter dengan mudah mendapatkan ruang untuk berkuasa penuh," kata dia.

Lucius mengira Pasal-pasal dalam beberapa RUU nan dibahas kilat oleh DPR memberikan gambaran jelas mengenai skema pemerintahan ke depan nan makin otoriter.

Revisi UU MK misalnya nan konsentrasi mengatur soal nasib pengadil konstitusi nan dikendalikan oleh pihak pengusung, menghilangkan independensi para pengadil nan semestinya menjadi prasyarat utama kerja pengadil konstitusi. Padahal, menurut Lucius, tanpa independensi, susah membayangkan MK bakal menguji secara objektif uji materi UU nan merupakan hasil kompromi DPR dan Pemerintah.

Kemudian Revisi UU Kementerian Negara nan memberikan keleluasaan kepada presiden untuk membentuk kabinet semaunya. Lucius memandang seolah-olah prerogatif presiden mengangkat menteri tak cukup untuk menunjukkan kekuasaan presiden atas kabinet.

Dengan menghilangkan batas jumlah menteri, kata Lucius, potensi kabinet menjadi sarana balas budi menjadi mungkin.

Ia menyatakan menteri nan menjabat lantaran balas budi dari presiden, sangat mungkin tidak kompeten. Belum lagi lantaran urusan balas budi itu, anggaran kementerian berpotensi bakal diselewengkan untuk kepentingan partai politik nan menjadi pihak pelaku politik transaksional dengan presiden.

"Semua ini nampak sistematis membawa bangsa kita menuju pada era kegelapan demokrasi," ucap Lucius.

"Peran DPR menjadi sangat penting. Salah melahirkan UU risikonya bakal ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Maka, jika DPR sadar bakal akibat nan luar biasa ini semestinya mereka perlu meninjau kembali RUU-RUU nan dibahas tergesa-gesa itu," tandasnya.

Autocratic Legalism

Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menilai tindakan DPR nan tergesa-gesa membahas sejumlah RUU merupakan corak dari autocratic legalism, ialah penggunaan instrumen norma untuk kepentingan kekuasaan, apalagi dengan melabrak prinsip-prinsip demokrasi.

Castro mengingatkan situasi saat ini sudah terjadi sejak Revisi UU KPK, Minerba, MK, hingga Omnibus Law Cipta Kerja.

"Jadi, UU dibuat hanya untuk kepentingan kekuasaan, tidak lagi mengabdi untuk kepentingan publik," kata Castro melalui pesan tertulis.

Ia mengatakan DPR mengulangi lagi dalam konteks RUU Kementerian, MK, Penyiaran, hingga Kepolisian. Ia memandang upaya tersebut tak lebih hanya untuk memuaskan syahwat politik kekuasaan.

"Kalau kita lacak intensinya, upaya untuk memastikan transisi dari rezim sekarang ke rezim penggantinya, melangkah mulus," imbuhnya.

Castro pun keberatan dengan argumen tanggung jawab di sisa masa kedudukan nan ada. Ia menyebut argumen itu klasik.

"Kalau logikanya tanggung jawab, mestinya nan dikebut itu RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Adat, dan RUU prioritas lainnya," ucap Castro.

Pengajar dari Universitas Mulawarman (Unmul) ini beranggapan semestinya situasi semacam itu diatasi melalui skema lame duck period, di mana DPR dan pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan di sisa masa kedudukan nan penggantinya sudah ada.

"Jarak vakum itu mesti dipangkas. Sebab, kebijakan nan diambil di masa lame duck period ini sarat kepentingan politik dibanding tujuan hukumnya," ungkap Castro.

(ryn/DAL)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional