Dampak Kenaikan PPN jadi 12 Persen ke Kontraksi Ekonomi, dari Pendapatan Riil Turun hingga..

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti memaparkan bahwa rencana peningkatan pajak pertambahan nilai (PPN) sekitar 12 persen berpotensi mengakibatkan kontraksi ekonomi. Esther menjelaskan bahwa ruang fiskal Indonesia sekarang mini lantaran beberapa faktor, dan peningkatan PPN hanya bakal berujung pada penurunan ekonomi.

Beberapa aspek berkontribusi pada kecilnya ruang fiskal Indonesia. Menurut pemaparan Esther, faktor-faktor tersebut adalah pertumbuhan ekonomi rendah, rasio pajak nan condong menurun, pajak penerimaan negara nan juga menurun, shopping modal nan lebih mini daripada pengeluaran rutin, serta utang nan relatif tinggi.

“Kalau ke depannya diberikan kebijakan kenaikan tarif PPN, maka nan terjadi adalah rupanya kenaikan tarif ini membikin perekonomian terkontraksi,” kata ahli ekonomi itu dalam obrolan publik daring berjudul “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat” pada Kamis, 12 September 2024.

Hal itu berasas kajian Indef pada 2021, ketika lembaga itu mencoba menghitung skenario kenaikan tarif PPN 12,5 persen. Dengan adanya kontraksi ekonomi imbas dari kenaikan PPN, artinya bayaran nominal, pendapatan riil, Indeks Harga Konsumen (IHK), pertumbuhan ekonomi, konsumsi masyarakat, serta ekspor-impor semuanya bakal menurun.

Kenaikan tarif PPN nan merupakan program perpajakan Presiden Joko Widodo bakal dilanjutkan di masa pemerintahan presiden terpilih periode 2024 – 2029 Prabowo Subianto. Ia bakal mengerek tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen per Januari 2025, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Tarif PPN nan sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen per 1 April 2022, dan bakal naik lagi menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) UU HPP.

“Jika skenario tarif PPN ini tetap dilaksanakan, maka pendapatan riil masyarakat bakal turun dan konsumsi masyarakat pun jelas bakal turun, lantaran pendapatannya juga bakal turun. Ini tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, tapi juga masyarakat pedesaan,” tutur Esther.

Iklan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang stagnan berkisar pada nomor 5 persen, berasas info Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). 

Rasio pajak negara dari 1972 – 2023 condong menurun dan rendah, terakhir pada nomor 10 persen pada 2023, menurut info Kementerian Keuangan. Pajak penerimaan negara pun hanya 10 persen dari produk domestik bruto (PDB), dengan sasaran hanya tercapai pada 2021, 2022 dan 2023. Jika memandang pengeluaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), shopping modal lebih mini daripada pengeluaran rutin, padahal menurut Indef semestinya terjadi sebaliknya.

Rasio utang terhadap PDB sekitar 38 persen tahun ini, menurut info Kementerian Keuangan, dengan kenaikan tiga kali lipat di masa pemerintahan Jokowi. “Investasi pun tidak ramah pada pembuatan lapangan pekerjaan,” ujar Esther.

Sementara, presiden terpilih Prabowo Subianto sempat menyatakan optimismenya bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen. Menurut Indef, perihal itu memerlukan upaya keras, dan kapabilitas fiskal kudu diperluas dengan meningkatkan penerimaan negara dan bersikap bijak dalam alokasi anggaran.

Pilihan Editor: Deretan Kritik Faisal Basri ke Jokowi, dari Kenaikan PPN jadi 12 Persen, Oligarki, hingga Jebloknya Investasi

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis