Jokowi Tinggalkan Utang Terbesar setelah Reformasi, Ini PR Prabowo-Gibran

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi, nan bakal lengser pada Oktober 2024, bakal menjadi Kepala Negara RI nan meninggalkan utang terbesar pascareformasi. Pemerintahan baru di bawah pasangan Prabowo-Gibran mempunyai PR besar ialah meningkatkan pemasukan lantaran program populis seperti makan siang cuma-cuma bakal menyedot banyak anggaran.

Berdasarkan info Kementerian Keuangan per Maret 2024, utang Pemerintah mencapai Rp8.262,10 triliun. Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan utang pada awal periode kepemimpinan Jokowi, nan merupakan warisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ialah sebesar Rp2.608,78 triliun.

Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga meningkat tajam. Jika pada 2014, rasio utang berada pada level 24,75 persen, sekarang naik menjadi 38,79 persen pada Maret 2024.

Sebagai perbandingan, Megawati Soekarnoputri mewariskan utang senilai Rp1.299 triliun ke pemerintahan SBY, hanya naik sekitar 2 persen dari awal masa kepemimpinannya nan sebesar Rp1.273 triliun. Sementara rasio utang sukses ditekan dari 77,32 persen pada 2001 menjadi 56,50 persen pada 2004.

Pada pemerintahan SBY, kenaikan utang tercatat sekitar Rp1.310 triliun dalam kurun waktu 10 tahun (2004 hingga 2014). Rasio utang ditekan hingga ke level 24,75 persen.

Ekonom Utama Departemen Riset Ekonomi dan Kerja Sama Regional Bank Pembangunan Asia (ADB) Arief Ramayandi menyebut pada dasarnya tidak ada standar baku soal rasio utang. Bank Dunia memang mengeluarkan standar rasio utang, ialah pada level 60 persen. Namun, negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang mempunyai rasio utang di atas 100 persen hingga 200 persen terhadap PDB, dan tetap menunjukkan pengelolaan ekonomi nan baik.

Oleh lantaran itu, dia menekankan bagian krusial dari utang pemerintah adalah manajemen pengelolaannya.

Salah satu aspek utama pemicu melonjaknya utang Pemerintah pada pemerintahan Jokowi adalah pandemi Covid-19. Terjadi lonjakan signifikan pada periode 2019 hingga 2020, di mana utang pemerintah naik sekitar Rp1.300 triliun dan rasio utang naik dari 29,80 persen menjadi 38,68 persen.

Meski rasio utang tetap terjaga di bawah pemisah kondusif 60 persen PDB, sebagaimana nan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, lonjakan nan terjadi tetap perlu menjadi perhatian.

Dalam menyiasati portofolio utang, Pemerintah mengaku mengambil sikap pengelolaan nan cermat, oportunis, dan terukur. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi strategi utama Pemerintah agar sekaligus mendukung pengembangan pasar finansial domestik. SBN mendominasi komposisi utang Pemerintah sebesar 88,05 persen. Sebagian besar kepemilikan SBN dikuasai pemain lokal, termasuk Bank Indonesia (BI). BI mempunyai 21,3 persen SBN domestik nan digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter.

Pemerintah juga berhati-hati dengan jangka waktu pengadaan utang. Saat ini, rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) utang Pemerintah berkisar 8 tahun.

Penerimaan Negara Naik

Di samping pembiayaan utang, Pemerintah juga terus menggenjot penerimaan negara. Pada penutupan kitab APBN 2023, keahlian penerimaan negara bisa mendorong keseimbangan primer masuk ke area positif dengan nilai Rp92,2 triliun, setelah memperkuat di area negatif selama 12 tahun.

Surplus keseimbangan primer mengindikasikan penerimaan negara cukup memadai untuk membiayai shopping negara sekaligus bayar seluruh alias sebagian pokok dan kembang utang. Artinya, Pemerintah tidak perlu menarik utang baru untuk bayar utang.

Itulah nan dimaksud oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto, bahwa utang Pemerintah tidak cukup hanya dilihat dari sisi outstanding-nya. Meski jumlah utang membesar, PDB dan penerimaan juga makin tinggi.

Pemerintah berupaya mempertahankan keahlian penerimaan negara. Sepanjang triwulan I-2024, APBN secara konsisten mengalami surplus, nan turut menjaga keseimbangan primer tetap surplus.

Meski mengalami surplus, Pemerintah tetap menarik utang. Realisasi penarikan utang per Maret 2024 mencapai Rp104,7 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penarikan utang tetap dilakukan untuk mengantisipasi dinamika pasar hingga akhir tahun. Terlebih, dengan stabilnya keahlian APBN kini, Pemerintah bisa mendapatkan imbal hasil (yield) SBN nan kompetitif.

Langkah inilah nan dimaksud Kementerian Keuangan mengelola utang secara cermat, oportunis, dan terukur.

Strategi Pemerintah mengelola utang diakui oleh sejumlah lembaga pemeringkat, seperti Standard & Poor’s (S&P) Global Rating dan Fitch Ratings nan mempertahankan ranking Indonesia pada posisi BBB dengan outlook stabil.

Baru-baru ini, Head of Asia-Pacific Sovereigns Fitch Ratings Thomas Rookmaaker menyatakan Indonesia mempunyai rekam jejak kredibilitas fiskal nan baik. Kebijakan Pemerintah membatasi defisit fiskal sebesar 3 persen menjadi pagar nan baik untuk mencegah kenaikan rasio utang di luar kendali.

Keberhasilan kebijakan tersebut tercermin pada defisit APBN nan ditekan hingga 1,65 persen terhadap PDB pada 2023 setelah sempat melebar hingga 6,14 persen pada 2020 akibat pandemi, menandakan keahlian negara mencapai konsolidasi fiskal dengan cepat.
 

Iklan

Berikutnya: Utang membengkak

  • 1
  • 2
  • 3
  • Selanjutnya

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis