Kebocoran Data di RI Disebut Tak Akan Bisa Hilang 100 Persen, Kenapa?

Sedang Trending 2 minggu yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki), Djarot Subiantoro, mengatakan kasus kebocoran data nan sempat terjadi di Indonesia tidak bisa lenyap 100 persen. Menurut dia, pemerintah Indonesia kudu meningkatkan sistem pengamanan serta izin penegakan norma mengenai keamanan data.

"Yang pertama kita (pemerintah) bisa lakukan memang membyat peraturan. Karena adanya izin itu (keamanan data) jadi ada argumen untuk melakukan penegakan hukum," ujar Djarot dalam aktivitas "Seminar Insider Risk Manajemen" di hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, pada Kamis, 7 November 2024.

Ia menyebut pemerintah kudu membikin peraturan untuk keamanan info dengan melibatkan beragam lembaga kementerian. Selain itu, lanjut Djarot, perihal tersebut dapat dimulai dengan melakukan Perlindungan Data Pribadi alias PDP.

"Peraturan-peraturan itu jika sekarang kan kita udah memandang kayak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu udah ada. Kemudian kita mulai dengan PDP. Tapi itu kan baru awal ya, itu gimana kelak penegakan hukumnya," ucap dia.

Sementara itu, Djarot mengatakan tidak hanya negara Indonesia saja nan mengalami pencurian data. Dia menyebut di negara Amerika juga mengalami perihal nan sama.

"Tapi kedua, Anda ingat di Amerika aja juga tetap kebobolan, kan. Artinya ini seperti polisi dan maling itu dia (peretas) juga makin pintar," kata Djarot.

Dengan demikian, lanjut dia, pemerintah Indonesia kudu mempunyai produktivitas dalam melindungi beragam info baik kementerian, perusahaan, hingga masyarakat Indonesia. Djarot memberikan saran agar kementerian nan mengatur tentang data, untuk melakukan pencadangan agar mengantisipasi kebocoran data.

"Kalau di kita, nan paling krusial info itu ada info backup-nya, jaga-jaga jika ada disaster gitu, kan," ujarnya. 

Menurut dia, saat ini perkembangan teknologi telah bergerak sangat cepat. Hal itu, kata Djarot, semua upaya nan beredar sudah menggunakan langkah digitalisasi.

"Sebenarnya kembali ke situ lagi ya. Tapi dengan pola nan lebih modern sekarang ini. Dengan upaya model nan semakin meningkat," kata Djarot.

Dia menjelaskan salah satu upaya nan mengalami perkembangan pesat dalam perihal digitalisasi. Djarot mengatakan, upaya itu ialah badan upaya nan bergerak di bagian finansial alias disebut sebagai bank.

"Salah satu upaya model nan sekarang terjadi untuk sebuah bank besar itu adalah pihak penyedia cyber security," ujarnya.

Menurut dia, saat ini para pendiri bank telah menggeser pengelolaan duit dengan langkah digitalisasi. Sehingga, kata Djarot, setiap bank kudu menyediakan keamanan siber untuk melindungi beragam info nasabah.

"Penyedia cyber security itu berani menjamin jika terjadi serangan kemudian merugikan upaya perusahaan itu dia kudu mengganti," tutur Djarot.

Dia mengatakan, penyedia jasa keamanan siber siap menanggung resiko jika badan upaya bagian finansial mengalami kebocoran data. Djarot mengatakan, perihal itu dengan memperkerjakan peretas putih untuk melakukan penyerangan kembali.

"Nah untuk itu dia (peretas) memang dibayar sangat tinggi, tapi dia juga mempekerjakan hacker-hacker putih untuk menyerang untuk ini agar dia bisa positif. Jadi ini saya rasa menjadi sebuah solusi nan bakal terus berlanjut," kata dia. 

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis