Kemasan Rokok Polos di Sini Ditentang, Mulai Banyak Diterapkan di Luar Negeri

Sedang Trending 2 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan sedang membahas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik nan antara lain menyangkut keharusan produsen menjual dalam kemasan rokok polos.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan rencana penerapan patokan bungkusan rokok polos dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) mendapat banyak penolakan dari pengusaha, sehingga tetap tahap kajian.

“Ya itu sedang dikaji dengan mitra kami. (Perkembangannya) bagus,” kata dia usai aktivitas Peluncuran kitab Authorized Biography Sri Mulyani Indrawati berjudul NO LIMITS: Reformasi dengan Hati di Aula Dhanapala Kemenkeu pada Jumat, 20 September 2024.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkritisi RPMK dan juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, nan dinilai bisa berdampak Indonesia kehilangan Rp308 triliun.

Namun di tingkat internasional, bungkusan polos tembakau mulai banyak dilirik sebagai pengganti mengurangi akibat rokok terhadap kesehatan. Laporan internasional nan dirilis Canadian Cancer Society (CCS) pada Februari 2024, mengungkap saat ini ada 42 negara dan teritori secara aktif bergerak menuju bungkusan polos, dengan 25 telah mengangkat langkah tersebut, 3 telah menerapkannya, dan 14 dalam proses penerapan.

Laporan CCS, berjudul Cigarette Package Health Warnings: International Status Report, merinci kemajuan dunia pada bungkusan polos, memberi ranking 211 negara dan teritori berasas ukuran peringatan kesehatan mereka pada bungkusan rokok, dan mencantumkan 138 negara dan teritori nan sekarang memerlukan peringatan gambar grafis.

Laporan tersebut juga menampilkan persyaratan baru Kanada untuk peringatan langsung pada setiap batang rokok. Langkah nan menjadi preseden bumi ini mulai muncul pada rokok di Kanada pada bulan April 2024. Australia sedang dalam proses untuk menjadi negara kedua nan mengangkat langkah tersebut.

"Ada tren dunia nan kuat bagi negara-negara untuk menerapkan bungkusan polos," kata Rob Cunningham, Analis Kebijakan Senior, CCS.

"Australia adalah negara pertama nan menerapkan bungkusan polos pada tahun 2012, diikuti oleh Prancis dan Inggris pada tahun 2016, dan sekarang semakin banyak negara nan menerapkan langkah tersebut. Perkembangan ini sangat menggembirakan lantaran bungkusan polos merupakan langkah utama untuk melindungi kaum muda dan mengurangi penggunaan tembakau."

Kini, ada 25 negara dan teritori nan telah mengangkat bungkusan polos, naik dari hanya 9 negara pada tahun 2018 dan 21 negara pada tahun 2021.

Pedoman di bawah perjanjian tembakau internasional, Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), merekomendasikan agar negara-negara mempertimbangkan penerapan bungkusan polos. Kemasan polos mencakup peringatan kesehatan pada bungkusan dan melarang penggunaan merek perusahaan tembakau seperti warna, logo, dan komponen desain.

Kemasan polos juga mengharuskan nama merek mempunyai ukuran, gaya, dan letak font standar pada bungkusan dan bagian merek pada setiap bungkusan mempunyai warna nan sama, seperti cokelat nan tidak menarik. Terakhir, format bungkusan distandarisasi. Peraturan bungkusan polos mengakhiri penggunaan bungkusan untuk promosi produk, meningkatkan efektivitas peringatan pada kemasan, mengekang penipuan pada kemasan, dan mengurangi penggunaan tembakau.

Potensi Kehilangan Ekonomi Rp300 Triliun

Wacana Pemerintah Indonesia mengangkat bungkusan rokok polos ini dinilai Indef berpotensi memberikan akibat ekonomi nan lenyap sampai Rp308 triliun.

“Kami merekomendasikan dengan dasar nan cukup kuantitatif, pertama adalah PP 28/2024 kudu direvisi, termasuk membatalkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, khususnya pasal-pasal nan memberikan akibat terhadap penerimaan dan perekonomian negara," kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam “Diskusi Publik Indef: Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram” di Jakarta, Senin, 23 September 2024.

"Ini krusial lantaran jika ini tidak direvisi dan dibatalkan, apalagi ditunda, maka justru memperberat situasi nan terjadi lantaran situasi ekonomi kita kuartal ketiga diproyeksikan tetap di bawah lima persen,” katanya.

Di antara nan dikritisi Indef adalah usulan bungkusan rokok polos tanpa merek dalam RPMK, nan mereka nilai bakal memberikan akibat ekonomi nan lenyap senilai Rp182,2 triliun.

Kemasan rokok polos bakal mendorong downtrading (fenomena ketika konsumen beranjak ke produk rokok nan lebih murah) hingga switching ke rokok terlarangan lebih sigap 2-3 kali lipat dari nan sebelumnya, dan berpotensi menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09 persen.

Iklan

Implikasi dari kebijakan bungkusan polos ini diprediksi mengurangi penerimaan negara sekitar Rp95,6 triliun, akibat ekonomi nan lenyap Rp182,2 triliun, dan memberikan akibat terhadap 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait.

Skenario kedua, andaikan pasal dalam PP 28/2024 mengenai larangan berdagang rokok dalam radius 200 meter dari pusat pendidikan (PAUD sampai SMA) dan tempat bermain diberlakukan, bakal memberikan akibat terhadap 33,08 persen dari total rokok retail (dari total perkiraan lebih dari 500 ribu satuan pendidikan terkait). Konsekuensi dari larangan ini menurunkan penerimaan negara sekitar Rp43,5 triliun, akibat ekonomi nan lenyap Rp84 triliun, dan 734 ribu orang/pekerja terdampak.

Untuk skenario ketiga mengenai pembatasan iklan rokok dalam PP 28/2024, diperkirakan menurunkan permintaan jasa periklanan hingga 15 persen, mengurangi penerimaan negara Rp21,5 triliun, akibat ekonomi nan lenyap Rp41,8 triliun, dan berakibat terhadap 337,73 ribu orang/pekerja.

Jika tiga skenario tersebut dijalankan, akibat ekonomi nan bakal lenyap setara Rp308 triliun alias 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menurunkan penerimaan perpajakan Rp160,6 triliun alias 7 persen dari total penerimaan perpajakan.

Hal ini disebabkan seluruh akibat nan ada merambat ke industri hasil tembakau, industri tekstil, industri periklanan, industri pertanian, industri retail, industri kertas, dan sektor lainnya.

Adapun sisi potensi tenaga kerja nan terdampak seandainya tiga skenario itu dijalankan ialah sebanyak 2,29 juta orang alias 1,6 persen dari total masyarakat bekerja.

“Kalau kita lihat total nomor 2,29 itu lebih tinggi dibandingkan nomor penyerapan tenaga kerja dan investasi nan kita tanam dalam satu tahun terakhir, satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap kurang lebih 300 ribu lapangan pekerjaan baru (atau) tenaga kerja baru," katanya.

Jadi, jika pertumbuhan ekonomi lima persen itu bisa menyerap kurang lebih 1,5 juta orang, bayangkan 2,29 (juta orang) itu bakal langsung terdampak, bukan hanya PHK, tapi bisa jadi penurunan pendapatan.

Karena itu, selain merevisi PP 28/2024 dan pembatalan RPMK, Indef mendorong perbincangan antar kementerian/lembaga nan berkepentingan dengan industri terkait.

Mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pertanian.

Upaya perbincangan dilakukan agar terjadi keseimbangan pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan empat pilar, ialah penerimaan negara, industri, tenaga kerja, dan kesehatan. Jika hanya mempertimbangkan pilar kesehatan saja,  maka bakal sangat susah lahir sebuah keputusan nan betul-betul berkeadilan bagi beragam pihak.

“Jadi, jika ada satu pilar saja nan muncul tanpa mempertimbangkan tiga pilar lainnya, maka saya kira ini nan perlu kita kritisi dan perlu kita berikan catatan,” kata Direktur Eksekutif Indef itu.

Rekomendasi terakhir nan diberikan adalah pemerintah perlu mencari sumber pengganti penerimaan negara nan hilang, serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja nan terdampak andaikan kebijakan PP 28/2024 dan RPMK tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik tetap diberlakukan.

“Saya kira nan berat memang dari penerimaan, sehingga perlu ada pengganti jikalau peraturan ini dilakukan, namun nan paling berat adalah masa depan masyarakat, terutama nan terdampak lantaran lebih dari dua juta orang nan bakal terdampak,” ucapnya.

CCS | ANTARA

Pilihan Editor Presiden Jokowi Sebut Hikmah di Balik Pandemi Covid, Indonesia Bisa Menapak Menjadi Negara Industri

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis