Kilas Balik 26 Tahun Nasionalisasi Bank BCA

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 21 Agustus 1998, Pemerintah Indonesia mengumumkan rencana untuk menasionalisasi Bank Central Asia (BCA), bank swasta terbesar di Indonesia, sebagai bagian dari upaya restrukturisasi sektor perbankan. BCA, nan didirikan pada 21 Februari 1957, sebelumnya merupakan bagian dari Salim Group.

PT Bank Central Asia Tbk didirikan pada 10 Agustus 1955 dengan nama NV Perseroan Dagang dan Industrie Semarang Knitting Factory, nan awalnya bergerak di bagian tekstil di Semarang. Perusahaan ini kemudian beranjak menjadi bank pada 12 Oktober 1956 dengan nama NV Bank Asia, nan selanjutnya berubah menjadi Central Bank Asia pada 13 Februari 1957, dan akhirnya menjadi NV Bank Centraal Asia.

Pada 2 September 1975, nama NV Bank diubah menjadi PT Bank Central Asia (BCA), nan mulai memperluas jaringan cabangnya melalui merger dengan bank lain. Salah satu merger krusial adalah dengan Bank Gemari, milik Yayasan Kesejahteraan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, nan membikin BCA menjadi Bank Devisa pada 1997. 

Status baru ini dimanfaatkan oleh BCA untuk mengembangkan usahanya lebih jauh dengan mengusulkan izin kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan dan mengedarkan kartu angsuran BCA nan dapat digunakan secara internasional.

Kilas kembali nasionalisasi bank BCA

Kepemilikan Salim Group atas Bank BCA kudu berhujung pada akhir 1990-an akibat beragam krisis. Tanda-tanda kejatuhan ini sudah mulai terlihat pada akhir 1997. Ketika krisis moneter alias finansial Asia 1997 mulai melanda Indonesia, pada 14 November 1997, tepat dua minggu setelah likuidasi 16 bank, beredar rumor dari Medan bahwa Liem Sioe Liong, pengendali BCA, telah meninggal bumi dan bahwa bagian BCA di Singapura ditutup.

Akibatnya, masyarakat nan tetap trauma akibat likuidasi bank sebelumnya, bergegas menyerbu cabang-cabang BCA untuk menarik biaya mereka, menyebabkan terjadinya bank run sebesar Rp 500 miliar. Untuk membantah rumor tersebut, Liem, nan saat itu berada di Singapura, kembali ke Jakarta dan tampil dalam peluncuran produk baru Indomobil. Ia muncul di televisi untuk meyakinkan masyarakat bahwa dia dalam kondisi sehat.

Setelah rumor itu reda, Salim Group mulai merencanakan konsolidasi bank untuk menghadapi krisis moneter. Pada hari nan sama ketika rumor tiruan tentang kematian Liem beredar, putranya, Anthony, menyepakati pembelian 19 persen saham Bank Danamon dengan rencana meningkatkan kepemilikan guna menyehatkan finansial bank tersebut. Ada juga pembicaraan tentang kemungkinan merger antara BCA dengan beberapa anak perusahaannya di sektor perbankan, seperti Bank Windu Kentjana, Bank Multicor, Bank Risjad Salim Internasional, dan Bank Yama.

Iklan

Namun, rencana ini tidak pernah terwujud, dan upaya untuk meningkatkan kepemilikan saham di Bank Danamon terpaksa dibatalkan lantaran bank tersebut mengalami masalah likuiditas dan kudu diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada April 1998.

Citra BCA sebagai bank kuat akhirnya hancur berbarengan dengan jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, nan merupakan sekutu dekat Liem. Kerusuhan Mei 1998 mengakibatkan banyak bagian BCA dirusak, dibakar, dan dijarah—diperkirakan sebanyak 122 bagian dan 150 ATM rusak, dengan kerugian mencapai Rp 3 miliar.

Tak lama setelah itu, BCA mengalami gelombang penarikan biaya besar-besaran (rush) kedua nan lebih luar biasa daripada nan terjadi pada November 1997, dimulai pada 18 Mei dan semakin membesar sejak 21 Mei 1998. Dalam beberapa hari, 12 persen dari simpanan BCA ditarik secara massal oleh nasabahnya.

Akhirnya, pada 28 Mei 1998, pemerintah mengambil alih kendali BCA sebagai Bank Take Over (BTO). Sebelumnya, sejak 25 Mei, BCA telah ditempatkan di bawah pengawasan BPPN sebagai bank dalam penyehatan. Liem merasa pengambilalihan tersebut tidak setara lantaran mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyelamatkan aset krusial mereka.

Namun, pengambilalihan oleh pemerintah ini sukses memulihkan kepercayaan pengguna terhadap BCA. Pada Desember 1998, biaya pihak ketiga telah kembali ke tingkat sebelum krisis, dan asetnya mencapai Rp 67,93 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan Desember 1997 nan sebesar Rp 53,36 triliun.

SUKMA KANTHI NURANI  | VIVIA AGARTA FEBRIANTI

Pilihan Editor: 4 Cara Melihat Mutasi Rekening BCA Levih dari 3 Bulan

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis