TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia mengatakan terdapat sejumlah persoalan dalam tata kelola industri kelapa sawit, terutama mengenai jasa nan diselenggarakan oleh negara. Akibatnya, muncul potensi masalah nan bisa berujung pada maladministrasi alias kebijakan nan tidak sesuai dengan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan salah satu potensi maladministrasi tersebut ditemukan dalam aspek perizinan. Dalam temuannya, Yeka berujar capaian pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya alias STDB dalam industri ini tetap rendah, nan baru mencapai 1,54 persen dari 2,5 juta pekebun sawit rakyat.
"Mau berapa puluh tahun kita bakal selesaikan sehingga luasan sawit rakyat kita ini sudah mempunyai STDB. Tingkat pendataan STDB kelapa sawit sangat rendah," ujarnya dalam aktivitas Penyerahan Laporan Hasil Analisis Kajian Sistemik kepada 12 Instansi Terkait Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, di Kantor Ombudsman RI, Senin, 18 November 2024.
Menurut Yeka, rendahnya STDB tersebut disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan SDM pada pemerintah daerah, serta halangan adanya status tumpang tindih lahan perkebunan dengan area hutan.
Selain itu, tetap dalam urusan perizinan, Yeka berujar capaian Sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil alias ISPO juga tetap sangat rendah. Saat ini, hanya 35,67 persen dari total luas lahan perkebunan nan mencapai 16,38 juta hektar nan mempunyai sertifikat ISPO.
"Termasuk di dalamnya ISPO untuk pekebun rakyat sebesar 0,86 persen dari luas lahan perkebunan sawit rakyat 6,94 juta hektar lahan perkebunan sawit rakyat," katanya.
Yeka menilai, rendahnya sertifikasi ISPO ini lantaran jasa sertifikasi nan kurang baik, belum efektifnya Komite ISPO sebagai lembaga sertifikasi, serta support kebijakan sistem pendanaan sertifikasi nan tetap belum jelas.
"Rendahnya capaian atas pendataan STDB kelapa sawit dan sertifikasi ISPO menunjukkan adanya potensi maladministrasi berupa pengabaian tanggungjawab norma dan maladministrasi tidak memberikan layanan," ujar Yeka.
Selanjutnya adalah adanya ketidakpastian jasa Persetujuan Teknis (Pertek) Pemanfaatan Air Limbah Pabrik Kelapa Sawit untuk Aplikasi ke Lahan alias disebut Land Application - Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LA-LCPKS). Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya pedoman penyusunan Kajian Teknis LA-LCPKS bagi pelaku usaha, terutama mengenai baku mutu air dan periode pemisah emisi nan kudu dipenuhi.
Yeka mengatakan bahwa potensi maladministrasi ini dapat menyebabkan produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) belum mencapai tingkat optimal. Saat ini, rata-rata nasional produktivitas TBS di Indonesia hanya 12,8 ton per hektar. Sebagai perbandingan, perusahaan kelapa sawit di Malaysia dengan sertifikasi MSPO 95 persen pernah mencapai produktivitas sebesar 19 ton per hektar.
"Ada selisih produktivitas sekitar 6,2 ton per hektar TBS," katanya.