Surabaya, CNN Indonesia --
Sejumlah wartawan atau wartawan nan bekerja meliput letak ambruknya gedung Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, mengalami dugaan penghalang-halangan kerja jurnalistik hingga intimidasi, oleh sekelompok orang beratribut ormas keagamaan.
Hal itu dialami sebagian besar wartawan nan meliput di sekitar letak kejadian. Salah satunya seorang wartawan media internasional. Intimidasi itu mulai dia dapatkan saat meliput di letak kejadian, Selasa (30/9) pagi, hingga Rabu (1/10) malam.
"Saat itu saya baru bakal gambar plang nama pesantren padahal, bukan gedung nan runtuh, tapi saya diteriaki 'apa kameramu mau saya banting?' Dengan nada keras, oleh orang berpakaian seragam paramiliter," kata wartawan tersebut, Kamis (2/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu sejumlah wartawan nan bekerja melakukan observasi dan live report di sekitar gedung letak kejadian juga diusir oleh sekelompok orang nan diduga santri.
"Saya dikerubungi sekitar lima santri kemudian diteriaki 'enggak boleh diliput, enggak boleh diliput' berulang-ulang," ucap seorang wartawan lainnya.
Santri dan personil ormas keagamaan ini, kata dia, juga memasang garis kuning di sepanjang kampung akses jalan masuk menuju pesantren. Para wartawan jadi tak bisa mendekati letak kejadian.
"Mereka [santri dan personil ormas] memasang garis kuning secara berdikari untuk membatasi akses jurnalis," ucapnya.
Ia pun mempertanyakan perihal itu. Dia percaya alasannya bukanlah aspek keamanan. Sebab santri tetap bisa mendekat ke letak kejadian meski tanpa atribut pelindung diri, sementara wartawan justru diusir dan tertahan jauh dari titik gedung rubuh.
"Kami percaya nan memasang garis tak boleh melintas di kampung itu bukan petugas alias tim SAR. Kami menghormati otoritas SAR itu. Kalau memang alasannya [pemasangan garis] itu untuk keselamatan, kenapa justru santri nan tak memakai atribut pelindung diri bisa leluasa mendekat ke titik letak kejadian, sedangkan wartawan justru diusir," tambahnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya pun menyatakan sikapnya merespons dugaan itu.
"Kami menyampaikan duka cita mendalam atas jatuhnya korban dalam peristiwa runtuhnya gedung di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur," kata keterangan AJI Surabaya berbareng PFI Surabaya, Kamis (2/10).
Di tengah upaya pemindahan dan penanganan korban nan saat ini tengah berlangsung, kata mereka, wartawan mempunyai peran krusial menyampaikan info nan telah diverifikasi kepada publik.
"Namun, AJI Surabaya dan PFI Surabaya menerima laporan terjadinya dugaan pembatasan dan penghalang-halangan terhadap kerja wartawan di letak kejadian," ucapnya.
Mereka mengatakan, sejumlah wartawan dan pewarta foto dilarang memasuki area pondok oleh para santri dan sekelompok orang berseragam paramiliter dari sebuah ormas keagamaan.
Beberapa wartawan juga diusir ketika hendak melakukan peliputan. Salah seorang pewarta foto mengaku diancam kameranya bakal dirusak,
"Kami menilai tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 18 ayat 1 UU Pers mengatur hukuman pidana bagi siapa pun nan menghalangi kerja jurnalistik," ujar AJI dan PFI.
Atas peristiwa tersebut, AJI dan PFI Surabaya menyatakan sikap, mengecam keras tindakan pembatasan dan penghalang-halangan kerja jurnalistik maupun intimidasi terhadap jurnalis.
"Kami mendesak pengurus ponpes dan semua pihak mengenai untuk menghentikan segala corak ancaman dan pembatasan terhadap jurnalis, demi terpenuhinya kewenangan publik atas info nan jeli dan terpercaya," ucapnya.
AJI dan PFI menegaskan kembali bahwa kerja jurnalistik dan liputan media dalam situasi krisis bermaksud untuk memastikan info nan diterima publik terverifikasi dan mendorong upaya penanganan nan transparan dan akuntabel.
(frd/dal)
[Gambas:Video CNN]