Jakarta, CNN Indonesia --
Pemohon nan menggugat uang pensiun personil DPR nan tercantum dalam UU 12 Tahun 1980 bertambah dari semula dua jadi sembilan orang.
Penambahan pemohon itu disampaikan dalam lanjutan persidangan nan digelar Mahkamah Konstitusi, Kamis (23/10), atas uji materi pasal UU 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip dari laman MK, dalam sidang perbaikan permohonan perkara nomor 176/PUU-XXIII/2025 tersebut, dua pemohon awal yakni Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin mengatakan ada tambahan pemohon berbareng mereka.
Pemohon Lita berprofesi sebagai psikolog, dan Syamsul adalah mahasiswa sekaligus advokat. Mereka meminta uji materi Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat (1) UU 12/1980. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan norma sebagaimana dijamin UUD 1945.
Dalam penyampaian perbaikan permohonannya, Syamsul Jahidin menyampaikan bahwa jumlah Pemohon dalam perkara ini bertambah dari semula dua orang menjadi sembilan orang.
"Kemudian di laman 6 pada poin 4 kami tegaskan bahwa perkara ini tidak nebis in idem, lantaran sebelumnya terdapat pengetesan undang-undang serupa dengan Nomor Perkara 41/PUU-XI/2013," ujar Syamsul dalam sidang di MK yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.
Lebih lanjut, Syamsul menjelaskan para pemohon mempunyai kedudukan norma (legal standing) sebagai penduduk negara Indonesia nan kewenangan konstitusionalnya berpotensi dirugikan berlakunya norma dalam pasal-pasal nan diuji.
Selain itu, pemohon juga menyampaikan komparasi dengan kebijakan serupa di beragam negara, serta melampirkan petisi dengan support 88.834 tanda tangan masyarakat Indonesia sebagai corak aspirasi publik nan mendukung penghapusan faedah pensiun bagi Anggota DPR RI.
Sebelumnya, pada sidang pemeriksaan pembukaan nan digelar Jumat (10/10), para Pemohon mendalilkan frasa "Anggota Dewan Perwakilan Rakyat" dalam Pasal 1 huruf a UU 12/1980 menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan hukum.
Menurut pemohon ketentuan tersebut memungkinkan Anggota DPR RI nan berakhir dengan hormat berkuasa memperoleh pensiun seumur hidup meskipun hanya menjabat selama satu periode (lima tahun).
"Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan serta asas negara norma nan berorientasi pada kemakmuran rakyat," ujar Syamsul tanpa didampingi kuasa hukum.
Para Pemohon menilai, pemberian pensiun seumur hidup bagi personil DPR menimbulkan beban finansial negara nan tidak proporsional.
Berdasarkan info nan disampaikan, total faedah pensiun personil DPR RI mencapai Rp226,015 miliar, seluruhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kerugian nan kami alami berkarakter nyata dan potensial. Sebagai pembayar pajak, kami merasa penggunaan biaya pajak untuk pensiun DPR nan hanya menjabat lima tahun merupakan corak ketidakadilan fiskal," tambah Syamsul.
Perbandingan dengan lembaga dan negara lain
Dalam permohonannya, Pemohon juga mengemukakan komparasi dengan sistem pensiun lembaga negara lain.
Untuk Hakim Agung, Anggota BPK, ASN, TNI, dan Polri, masa kerja nan menjadi dasar pensiun umumnya berkisar antara 10 hingga 35 tahun. Sementara bagi personil DPR, masa kedudukan hanya satu hingga lima tahun, namun tetap memperoleh kewenangan pensiun seumur hidup.
Pemohon juga menyinggung praktik di sejumlah negara lain seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Di dua negara tersebut, katanya, kewenangan pensiun personil parlemen didasarkan pada masa jabatan, usia, dan kontribusi.
Kemudian di Australia, sistem pensiun berbasis kontribusi diterapkan sejak 2004.
Menurut pemohon apa nan diatur di Indonesia saat ini sama dengan di India. Para pemohon mengatakan di India, sistem pensiun seumur hidup bagi personil parlemen tetap bertindak namun kerap dikritik publik lantaran dianggap membebani finansial negara.
Selain persoalan norma dan keuangan, Pemohon juga menyoroti aspek moralitas dan keahlian DPR nan dianggap belum sepadan dengan akomodasi dan tunjangan nan diterima. Pemohon mengutip pandangan publik mengenai rendahnya kehadiran dalam sidang paripurna serta perilaku personil DPR nan dinilai tidak mencerminkan tanggung jawab sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan ketentuan saat ini, personil DPR RI menerima pensiun antara Rp401.894 hingga Rp3.639.540, tergantung masa jabatan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000. Namun Pemohon berpendapat, ketentuan tersebut tetap tidak setara lantaran memberikan pensiun seumur hidup bagi kedudukan politik nan berkarakter sementara.
Atas dasar itu, para pemohon meminta MK menyatakan ketentuan dalam UU 12/1980 nan memberikan kewenangan pensiun seumur hidup kepada personil DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat.
(kid/gil)
[Gambas:Video CNN]
12 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·