TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah menerapkan asuransi wajib pertanggungjawaban pihak ketiga alias third party liability bagi kendaraan bermotor menuai jenis respons dari masyarakat. Aturan ini disebut bakal berlalu pada awal 2025 lantaran tetap menunggu Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah melalui Kementerian Keuangan atas tindak lanjut dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Kepala Eksekutif Pengawasan Asuransi, Penjamin, dan Dana Pensiun Ogi Prastomiyono, mengatakan saat ini institusinya sedang menyiapkan skema penerapan asuransi kendaraan sembari menunggu peraturan pemerintah nan bakal menjadi payung norma dari rencana ini.
“Untuk mewajibkan asuransi kendaraan itu kudu ada payung hukum. Jadi setiap pemilik kendaraan wajib untuk mengasuransikan kendaraan,” kata Ogi dalam Insurance Forum nan Tempo pantau secara daring pada Rabu, 17 Juli 2024.
Berdasarkan UU P2SK, Ogi mengatakan harusnya peraturan pemerintah melalui Kementerian Keuangan nan bakal mengatur pengenaan wajib asuransi bagi kendaraan itu bakal keluar di Januari 2025. Senyampang itu, Ogi mengatakan institusinya juga bakal membikin Peraturan OJK nan mengatur asuransi kendaraan ini.
“Dalam UU P2SK dicantumkan bahwa asuransi kendaraan itu dapat menjadi asuransi wajib,” kata Ogi.
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia Tolak Rencana Ini
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, mengatakan organisasinya menolak rencana ini lantaran bakal menambah beban bagi pekerja pikulan berbasis aplikasi, seperti ojek online, taksi online, dan kurir. Dia menyebut biaya premi asuransi nan bakal dibayarkan tak sebanding dengan kondisi pendapat para pekerja pikulan berbasis aplikasi.
“Karena biaya premi asuransi nan bakal dibayarkan tidak sebanding dengan kondisi pendapatan kami nan tidak menentu. Ini disebabkan tarif pikulan nan murah akibat status pengemudi sebagai mitra,” kata Lily dalam keterangan tertulis pada Senin, 22 Juli 2024. Akibat dari sistem kemitraan ini, Lily mengatakan pengemudi pikulan berbasis aplikasi tak mendapat penghasilan layak berupa bayaran minimum seperti pekerja lainnya.
Tak hanya itu, Lily mengatakan wajib asuransi ini juga bakal menambah biaya kehidupan sehari-hari bagi pekerja pikulan berbasis aplikasi nan tak ditanggung perusahaan mitra kerja. Biaya operasional itu, kata dia, berupa pengeluaran untuk bahan bakar, parkir, angsuran kendaraan, pulsa, angsuran ponsel, atribut helm, tas, dan jaket.
“Maka kami menolak tanggungjawab asuransi kendaraan dan patokan lainnya nan memberatkan rakyat seperti potongan Tapera dan rencana kenaikan nilai BBM,” kata dia.
Selain itu, Lily mengatakan SPAI menuntut pemerintah untuk mengangkat status pekerja pikulan berbasis aplikasi menjadi pekerja nan diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Langkah ini dinilai menjadi solusi dari kondisi pekerja pikulan berbasis aplikasi nan tak menentu. “Supaya ada kepastian pendapatan dan kewenangan pekerja bagi kami,” kata dia.
Fraksi PKS Sebut Wajib Asuransi Kendaraan Bermotor Bukan Solusi
Sementara itu, Politikus Partai Keadilan Sejahtera alias PKS Suryadi Jaya Purnama mengatakan fraksinya di Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR menolak rencana itu. Dia menilai argumen OJK nan mengapungkan rencana itu ke publik mengada-ada.
“Fraksi PKS menolak tanggungjawab asuransi bagi kendaraan bermotor, apalagi hanya lantaran pendapat OJK nan asal-asalan mengutip UU P2SK,” kata Suryadi dalam keterangan tertulis pada Ahad, 21 Juli 2024.
Selain itu, Suryadi nan juga personil Komisi V DPR itu menyebut asuransi kendaraan ini juga bakal menambah beban bagi masyarakat. Dia berdasar kendaraan bagi masyarakat bukan sekadar perangkat transportasi, tapi perangkat produksi. Oleh lantaran itu, lantaran kendaraan sebagai perangkat produksi, Suryadi menilai bakal berpotensi merembet kepada naiknya nilai peralatan dan jasa.
“Jangankan bayar premi asuransi, pajak kendaraan bermotor (PKB) saja masyarakat tetap banyak nan menunggak. Sebagai perangkat produksi, jelas tambahan beban ini berpotensi bakal merembet kepada kenaikan nilai beragam peralatan jasa,” kata Suryadi.
Iklan
Korlantas Polri pada 2022 mencatat sebanyak 50 persen kendaraan bermotor di Indonesia tetap mempunyai tunggakan PKB dengan nilai mencapai Rp 100 triliun. “Persoalannya bisa jadi lantaran sistem bayar pajaknya tidak efektif alias memang masyarakat tak sanggup dengan beban biayanya,” kata Suryadi.
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Sebut Rencana Ini Akan Digitalisasi
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengakui rencana wajib asuransi bagi kendaraan bermotor merupakan usulan dari pemerintah. Dia menyebut AAUI juga sempat berbincang dengan beragam pihak sebelum Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
“Usulan awalnya datang dari pemerintah, itu obrolan beberapa kali sebelum diundangkan,” kata Budi saat ditemui di kantornya di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 22 Juli 2024.
Usai berbincang tentang rencana ini, Budi mengatakan beberapa pihak nan mengusulkan itu lantas studi banding ke beberapa negara. Dia menyebut langkah ini merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari potensi kecelakaan nan tak diinginkan.
“Ingin mengimplementasikan, ini perlindungan untuk masyarakat, intinya seperti itu. Itu sudah kajian nan dalam,” kata dia.
Oleh lantaran itu, Budi mengatakan jangan sampai rencana wajib asuransi ini bakal membebani masyarakat dengan premi alias iuran nan dibayarkan. Dia berambisi dari asuransi ini para pihak nan mengalami kerugian kelak bisa mendapat tukar nan layak.
“Tentunya kami mendorong agar pihak nan dirugikan itu bisa mendapatkan tukar rugi nan cukup dan layak,” kata dia.
Sementara itu, Budi mengatakan saat ini AAUI tetap menunggu Peraturan Pemerintah melalui Kementerian Keuangan sebagai tindak lanjut Undang-Undang P2SK. Sembari itu, Budi bercerita salah satu skema dari pembayaran asuransi kendaraan ini bakal memanfaatkan Artificial Intelligence dan digitalisasi.
“Tidak terelakan kudu menggunakan sistem digitalisasi, bakal menggunakan sistem AI dan kami mulai belajar dari negara sahabat,” kata Budi saat ditemui di kantornya di area Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 22 Juli 2024. Dia menyebut kondisi demografi Indonesia nan luas menjadi alasan.
Digitalisasi ini, kata Budi, merupakan langkah nan bakal dia usulkan kepada pemerintah andaikan Peraturan Presiden telah diteken. Dia menyebut AAUI telah belajar praktik asuransi serupa dari negara di area Asia, seperti Jepang, Korea, dan negara di Asia Tenggara.
Meski demikian, Budi mengatakan AAUI belum bisa memastikan berapa besar premi alias iuran nan bakal dipungut dari setiap kendaraan. Dia menyebut bakal menghitung dan menyosialisasikan pungutan itu agar tak membebani masyarakat. “Prosesnya tetap berjalan. Masih tahap kajian,” kata dia.
Pilihan Editor: Sandiaga Janji Tiket Pesawat bakal Turun sebelum Pemerintahan Jokowi Digantikan Prabowo