Yogyakarta, CNN Indonesia --
Persoalan darurat minuman keras (miras) di wilayah DI Yogyakarta menggema sejak beberapa waktu lampau hingga ormas keagamaan mengeluarkan sikap. Menyikapi perihal itu, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pun mengeluarkan sikapnya.
Pada Rabu (30/10), Raja Keraton Yogyakarta itu menerbitkan petunjuk gubernur agar para kepala wilayah di provinsi nan dipimpinnya itu untuk mengawasi ketat penjualan minuman beralkohol.
Merespons kejadian darurat miras di Kota Pelajar tersebut, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman meyakini tradisi nongkrong dan kemudahan akses terhadap minuman beralkohol (minol) menjadi 'oplosan' pas buat upaya khamar menjamur di Yogyakarta dan sekitarnya belakangan ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sunyoto mengatakan berasas pengamatannya, gerai penjualan miras sekarang banyak sekali ditemui dan situasi ini tak lepas dari sungguh mudahnya bagi si pelaku upaya untuk mendapatkan peralatan tersebut di era kekinian. Kemudahan ini akhirnya juga dirasakan oleh si pembeli.
"Dan ada tradisi nongkrong, kemudian diisi itu (aktivitas minum miras)," kata Sunyoto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (31/10).
Menurutnya, miras dan segala permasalahannya adalah persoalan lama nan selalu timbul-tenggelam. Karakteristik masyarakat Jogja yang kian heterogen bak menjadi stimulan bagi upaya miras untuk terus tumbuh.
"Kalau dugaan saya itu (nongkrong konsumsi miras) pendatang, jika masyarakat lokal biasanya agak lebih tertutup," ujarnya.
"Kalau penduduk lokal ada kontrol sosial, bisa RT alias RW nan mengawasi langsung, ada tapi tidak terlalu terbuka. Kalau pendatang kaya merasa bebas, tidak ada nan ngontrol," sambung Sunyoto.
Lanjut Sunyoto, sudah pula banyak bukti tindak pidana alias tindakan pidana imbas pelakunya nan berada di bawah pengaruh miras.
Kekinian adalah kasus penusukan dan penganiayaan dua santri oleh sekelompok laki-laki di Jalan Parangtritis, Brontokusuman, Mergangsan, Kota Yogyakarta, Rabu (23/10) malam. Aksi penusukan lantaran pelaku diduga dibawah pengaruh miras itu pun menimbulkan gejolak hingga Mapolda DIY pun digeruduk massa santri dan lainnya pada Selasa (28/10) lalu.
Namun, Sunyoto tak bermaksud memukul rata di antara mereka nan kegemaran menenggak minol. Akan tetapi, pandangannya, memang lebih baik jika sistem kontrol ketat menyertai peredaran miras di DIY.
Selain itu, dia mengapresiasi langkah Sri Sultan HB X nan menerbitkan petunjuk Nomor 5/2024 kepada para kepala wilayah di level kabupaten/kota agar mengoptimalisasi pengendalian serta pengawasan peredaran miras.
Selain konsistensi dari pejabat pemerintahan maupun aparat, partisipasi aktif pengurus lingkungan di masing-masing wilayah dalam mendeteksi juga melapor sangat diperlukan demi efektivitas upaya pengendalian miras.
"Harus ada real aktivitas di tengah nan melacak di tingkat bawah, ada second layer nan bergerak di mana kudu diambil tindakan toko-toko tak berizin, misalnya," kata dia.
Terpisah, Ketua Fraksi PKS DPRD DIY, Amir Syarifudin turut menyambut positif upaya Pemda DIY setempat, termasuk soal larangan penjualan miras secara daring maupun dengan sistem jasa antar (delivery service) nan belum diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 12 Tahun 2015.
Dia pun berambisi kesungguhan pemerintah kabupaten/kota menegakkan perda nan sudah ada di masing-masing wilayah.
"Meski sebagai solusi jangka pendek, Ingub sebagai penguat agar segera melaksanakan secara konkret untuk masalah nan sudah meresahkan hingga akar rumput," ujarnya saat dihubungi.
Pasalnya, klaim Amir, keresahan atas miras dan efeknya ini bukan hanya datang dari umat muslim nan mengharamkannya. Melainkan, masyarakat secara umum.
"Ini mendesak dari aspirasi ulama, tokoh masyarakat, ormas, ada nan berakidah macam-macam, kemarin menyampaikan ini urusan keselamatan generasi muda kita," ungkapnya.
"Di Jogja ini sudah terlalu vulgar, jangan sampai stigma Yogyakarta itu nan jelek-jelek. Dulu darurat sampah, darurat klitih, darurat intoleransi, sekarang darurat miras," imbuh Amir.
(kum/kid)
[Gambas:Video CNN]