TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan bahwa selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, pengembangan industri nikel masih belum berkontribusi positif terhadap ekonomi masyarakat lokal. Menurutnya, baik penambang maupun hilirisasi nikel telah menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah sekitar.
"Dan nan paling parah menderita itu ya masyarakat sekitar tadi," ujarnya saat diwawancarai Tempo pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Fahmy menjelaskan bahwa selain kerusakan lingkungan, masyarakat di sekitar letak industri, khususnya di wilayah nan mempunyai smelter nikel, tetap terjebak dalam kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan industri nikel tidak serta merta mengangkat taraf hidup masyarakat di sekitarnya.
Selain itu, dia juga beranggapan bahwa pengembangan industri nikel di era pemerintahan Jokowi tetap sangat kecil. Hal tersebut diawali dengan larangan ekspor nikel nan kemudian mengharuskan hilirisasi smelter.
"Tetapi nan terjadi, smelter tadi dikuasai oleh penanammodal Cina. Sehingga lebih banyak nan menentukan itu Cina tadi," ujarnya.
Hal tersebut menurutnya membikin nilai tambah pada industri ini menjadi rendah. Pasalnya, Indonesia hanya mengekspor hasil produksi turunan nikel nan pertama alias paling tidak nan kedua. "Sehingga tidak membentuk ekosistem industri tadi, makanya nilai tambahnya rendah," katanya.
Selanjutnya, Fahmy mengatakan pemerintah sebaiknya bersikap tegas kepada penanammodal dalam pengembangan industri, terutama di wilayah nan mempunyai smelter, untuk memastikan bahwa aktivitas operasional mereka tidak merusak lingkungan.
"Kalau misalnya terjadi gitu ya, jika tak bisa dihindari (kerusakan lingkungan), maka perlu ada semacam reklamasi nan dibiayai oleh penanammodal tadi," tutur Fahmy.
Lebih lanjut, Fahmy menambahkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, penanammodal juga perlu menyisihkan sebagian dari untung mereka. Ia mengusulkan agar setidaknya 10 persen dari profitabilitas nan diperoleh dialokasikan kepada pemerintah daerah, sehingga dapat didistribusikan kepada masyarakat di sekitar letak industri.
Iklan
Selain Fahmy, Direktur Eksekutif Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif (INKRISPENA) Y. Wasi Gede Puraka mengatakan bahwa perkembangan pesat industri nikel saat ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah wilayah dalam menjaga kebutuhan daya dan pangan masyarakat di wilayah tersebut. Pernyataan ini merupakan komunike berbareng nan dikeluarkan oleh Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI).
Menurutnya, meskipun perusahaan tambang beraksi di wilayah mereka, akibat positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal nyaris tidak terlihat. Keuntungan besar nan diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut tampaknya datang dengan mengalihkan risiko-risiko sosial dan ekonomi nan kudu ditanggung oleh penduduk sekitar.
"Tidak mungkin petani, pekerja, alias penduduk di wilayah tambang dan kawasan-kawasan industri pengolahan mineral kritis bakal sejahtera selama pendekatan nan dipakai pemerintah dan bumi upaya tetap tetap mengedepankan militerisme dan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan nan muncul," ujarnya dalam keterangan tertulis nan diterima Tempo pada Senin, 14 Oktober 2024.
Ia melanjutkan bahwa pentingnya penguatan masyarakat budaya dan lokal dalam menyikapi kehadiran industri mineral kritis di Indonesia. Terlebih, mereka memerlukan info nan jelas mengenai keberadaan industri dan kampung di wilayah mereka.
Selain itu, Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, menyoroti praktik pemanfaatan mineral kritis di Indonesia tampaknya mengabaikan tantangan krisis nan sedang dihadapi, terutama krisis biodiversitas dan polusi. Ia mengingatkan bahwa pemerintah perlu merumuskan strategi ekonomi mineral nan tidak justru memperburuk situasi krisis ini.
"Dampaknya berkarakter lintas batas, saling terkait, dan dengan akibat jangka panjang," katanya.
Oleh lantaran itu, KNMKI mengeluarkan komunike berbareng nan mendesak pemerintah, khususnya di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, untuk mengutamakan perlindungan kewenangan asasi manusia bagi golongan marjinal serta memastikan tata kelola lingkungan dan sosial nan berkepanjangan dalam pengelolaan mineral kritis, terutama nikel. Adapun aktivitas konvensi tersebut berjalan di Palu, Sulawesi Tengah pada 9 hingga 10 Oktober 2024.
Pilihan Editor: MA Cabut Izin Tambang Nikel PT GKP di Wawonii Sultra, Ini Tanggapan Warga dan LSM