5 Alasan Kenaikan PPN 12 Persen Tak Disukai

Sedang Trending 2 jam yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan meningkatkan PPN menjadi 12 persen menuai protes. Rencana nan diusulkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini disebut-sebut sangat tidak disukai beragam kalangan. Mengapa kenaikan PPN mendapat tendensi negatif?

1. Memukul Masyarakat Menengah Kebawah

Pertama, kenaikan PPN bakal menekan kondisi masyarakat dari beragam sisi. Kemudian turut berakibat pada masyarakat dengan perekonomian kelas bawah, kelas menengah, atas. Sedangkan ‘pajak orang kaya’ tidak bakal menghantam perekonomian. Hal tersebut disampaikan oleh Ekonom Senior Indef Mohamad Fadhil Hasan.

“Kalau misalnya nan super rich ini ditingkatkan pajakmya, itu tidak bakal memberikan akibat secara keseluruhan terhadap perekonomian,” kata dia.

2. Menaikkan Harga Barang

Selain itu kenaikan PPN ini berpengaruh dengan naiknya nilai peralatan nan kena pajak. Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyebut komponen produksi seperti ongkos logistik pun turut berdampak. nan bakal memengaruhi nilai beras.

"Misalnya BBM naik. Beras ini kan diangkutnya pakai kendaraan. Walaupun tidak langsung tapi pasti bakal ada dampaknya. Walaupun kelak (dampaknya) bisa diukur," kata Arief kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 19 November 2024.

3. Menguntungkan Orang Kaya

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi saat ini masyarakat telah tertekan dari segala sisi. Kenaikan PPN hanya bakal memperburuk keadaan.

Bhima menilai, kenaikan PPN ini sangat tidak setara bagi masyarakat kelas menengah. Ia apalagi menyebutkan, masyarakat kelas menengah justru dihadapkan dengan 10 tambahan pungutan dan pajak baru di tahun 2025.

Kesepuluh pungutan tersebut nan pertama adalah kenaikan PPN 12 persen. Kemudian berakhirnya pajak UMKM 0,5 persen dan pemberlakuan asuransi kendaraan wajib (third party liabilities). Lalu, ada iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) serta wacana Dana Pensiun Wajib. Selain itu, juga bakal ada wacana pemberlakuan nilai tiket KRL nan disesuaikan dengan NIK.

“Ditekan atas bawah dan kanan kiri. Berat jadi kelas menengah di republik ini,” ucap Bhima.

4. Memengaruhi Penjualan

Selain masyarakat umum, kenaikan PPN menjadi 12 persen ini turut merambah ke sektor properti. Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto memprediksi adanya penurunan tren penjualan. Sebab, kenaikan PPN bakal melemahkan daya beli masyarakat.

“Ada penurunan sektor industri (properti) ini dari sisi pertumbuhan,” kata Joko di Kantor DPP REI, Jakarta, Rabu, 20 November 2024. “Berarti, itu juga bakal merugikan pemerintah lantaran sektor ini tidak bisa memberikan kontribusi,” lanjut dia.

Oleh lantaran itu, Joko berambisi Presiden Prabowo Subianto melanjukan kebijakan pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPNDTP) untuk pembelian rumah. Adapun kebijakan insentif PPN DTP 100 persen nan diteken di era pemerintahan Presiden Jokowi ini hanya bertindak hingga Desember 2024.

5. Merugikan Konsumen

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan rencana Sri Mulyani hanya bakal menambah berat bagi konsumen. “Kenaikan PPN nan sudah terjadi sebelumnya pada April 2022, dari 10 persen menjadi 11 persen, tetap dirasakan berat oleh masyarakat. Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, perihal ini bakal semakin memperburuk daya beli konsumen,” bunyi keterangan tertulis YLKI.

YLKI juga menilai, masyarakat nantinya malah menunda alias apalagi membatalkan pembelian barang-barang nan dikenakan PPN tinggi, seperti peralatan elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga.

YLKI menyebutkan, dunia usaha dan industri bakal ikut terkena imbas kenaikan PPN nan mengakibatkan penurunan penjualan serta berujung pada lesunya roda ekonomi.  

ELLLYA SYAFRIANI | VENDRO IMMANUEL G | RIRI RAHAYU | HAN REVANDA | NABILA AZZAHRA

Pilihan Editor: Ragam Penolakan Kenaikan PPN, dari Seruan Boikot Pajak hingga Mogok Massal

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis