AHY Klaim Telah Melindungi Hak Tanah Ulayat Milik Masyarakat Adat

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyatakan telah melindungi norma kewenangan atas tanah ulayat milik masyarakat adat nan ada di seluruh Indonesia. Menurutnya, antara tanah dan masyarakat budaya mempunyai ikatan nan mendalam. "Tanah ulayat mengandung nilai-nilai kepemilikan secara komunal nan merefleksikan ikatan mendalam antara masyarakat budaya dengan lingkungannya sendiri," kata AHY di Kantor Kementerian  ATR/BPN pada Selasa, 24 September 2025.

Bentuk perlindungan norma atas tanah ulayat tersebut adalah dengan menerbitkan 41 sertifikat dari luas tanah nan mencapai 972 hektare di tujuh provinsi ialah Sumatra Barat, Papua, Jawa Barat, Bali, Jambi, Kalimantan Barat, dan Aceh. AHY menyatakan upaya pendaftaran tanah ulayat masyarakat norma budaya ini adalah bukti hadirnya negara dalam memberikan kepastian hukum. Selain itu dia juga berkomitmen untuk memberi perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat.

Pendaftaran tanah ulayat oleh masyarakat norma budaya sejalan dengan program legalisasi aset melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program ini mendorong percepatan proses pendaftaran tanah nan dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN.

Sejak 2017, AHY menyatakan pendaftaran tanah telah mengalami percepatan nan signifikan, meningkat dari 46 juta bagian tanah nan terdaftar menjadi 117,9 juta pada September 2024. Ini mencerminkan pertumbuhan 250 persen dalam tujuh tahun terakhir.

Di hari nan sama, sekelompok tani nan tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (GERAM TANAH) menggelar tindakan di depan Kementerian ATR/BPN. Salah satu poin nan disampaikan oleh Dewi Kartika, selaku Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sekaligus Koordinator Umum tindakan adalah Pemerintahan Jokowi telah melanggar UUPA dengan tetap mempraktekkan asas domein verklaring.

Iklan

Menurut Dewi, perihal tersebut membikin negara seolah menjadi pemilik tanah bertindak sewenang-wenang kepada petani dan masyarakat budaya terhadap tanahnya sendiri. Di mana pemerintah, masyarakat budaya hanya menumpang di atas tanahnya sendiri. "Bahkan pemerintah memelihara bentrok agraria masyarakat dengan BUMN perkebunan dan klaim area rimba negara, dan selalu bertindak represif kepada masyarakat nan mempertahankan tanahnya dari klaim rimba negara dan BUMN," kata Dewi Kartika.

Selanjutnya, Dewi juga mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak pernah sama sekali meredistribusikan dan mengembalikan tanah petani dan masyarakat budaya nan telah dirampas oleh PTPN dan Perhutani. Tidak ada satupun Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) nan berkonflik dengan PTPN dan Perhutani sukses diselesaikan dan didistribusikan kembali kepada masyarakat oleh Menteri ATR/BPN, Menteri Kehutanan, serta Menteri BUMN.

Selain itu, Skema Perhutanan Sosial, Perkebunan Sosial/Distribusi Manfaat dan/atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan PTPN menurut dewi merupakan izin nan berseberangan dengan Reforma Agraria. Musababnya lantaran melanggengkan klaim sepihak negara atas tanah dan atas nama area hutan. "Tidak ada koreksi dan penegakkan norma terhadap praktik domeinverklaring kehutanan, manipulasi expired HGU dan tanah terlantar BUMN," kata Dewi. 

Pilihan EditorKubu Arsjad Rasjid Minta Pengadilan Batalkan Hasil Munaslub, Anindya Bakrie: Itu Forum Tertinggi Kadin 

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis