Jakarta, CNN Indonesia --
Terpilihnya Hakim Agung Sunarto sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) membawa angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi. Sebab, Sunarto dinilai sebagai pengadil bersih nan jauh dari intervensi.
Terpilihnya Hakim Agung Sunarto sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) menjadi angin segar upaya pemberantasan korupsi. Sosok Sunarto digadangkan sebagai pengadil bersih dan berintegritas nan jauh dari intervensi.
Komisi Yudisial (KY) menyambut terpilihnya Sunarto dengan penuh optimisme. Anggota KY, Prof Amzulian, berambisi di bawah kepemimpinannya, MA bisa semakin dipercaya publik sebagai badan peradilan nan betul-betul agung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terpilihnya Prof Sunarto adalah angin segar untuk penegakan norma nan setara dan bebas intervensi. Kami berambisi MA bisa menjadi lembaga peradilan nan sepenuhnya dipercaya publik," ujar Amzulian.
Tidak hanya KY, para akademisi, master hukum, dan pegiat antikorupsi juga menggantungkan angan besar pada Sunarto. Mereka memandang MA sebagai tembok terakhir keadilan, dan sekarang tanggung jawab besar itu berada di pundak Sunarto.
Namun, di tengah angan besar ini, master norma mengingatkan agar Sunarto tetap teguh pada prinsip independensi, terutama dalam kasus-kasus sensitif.
Salah satu kasus nan menjadi perhatian adalah Peninjauan Kembali (PK) nan diajukan mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming.
Sunarto diminta untuk betul-betul mempergunakan norma pada tempatnya, dan menggunakan nuraninya dalam memproses perkara Maming. Hal itu dikarenakan, adanya dugaan kuat jika kasus Maming sengaja direkayasa.
Dalam kasus Maming, para master seperti Prof Romli Atmasasmita dari Universitas Padjadjaran, menilai adanya kesesatan norma dalam putusan hakim. Menurutnya, tuntutan dan putusan pemidanaan Maming tak didasarkan pada kebenaran hukum.
"Proses norma terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan alias kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan norma nan serius," tegas Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK tersebut dikutip Senin (28/10).
Sebelumnya, Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) sekaligus aktivis HAM dan antikorupsi Todung Mulya Lubis juga meminta agar mantan Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2015 dan 2016-2018 Mardani H Maming dibebaskan.
Todung menyoroti terjadinya peradilan sesat (miscarriage of justice) dalam penanganan kasus korupsi nan menyeret Mardani H Maming ke ruji-ruji besi. Menurutnya, vonis nan dijatuhkan kepada Mardani H Maming tidak mempunyai perangkat bukti memadai dan terkesan dipaksakan.
"Bentuk miscarriage of justice nan paling mencolok adalah tidak dipenuhinya kewenangan atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap perangkat bukti nan dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi nan tidak langsung (testimonium de auditu) lantaran perihal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, daripada mempertimbangkan perangkat bukti lain nan menyatakan perihal sebaliknya," kata Todung Jumat, (25/10).
Dia juga beranggapan bahwa tidak ada unsur keadilan dalam penjatuhan vonis terhadap terpidana. "Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika perangkat bukti nan ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti," ujarnya.
Todung juga menjelaskan bahwa pengadil memaksakan bangunan norma dalam peristiwa-peristiwa norma nan terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Sedangkan penggunaan afinitas sebagai dasar untuk menjatuhkan vonis merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas.
"Pemaksaan bangunan norma nan paling terlihat adalah menjadikan untung dan pembagian hasil upaya sebagai pemberian hadiah. Dengan menyatakan bahwa untung dari hasil upaya sama dengan pemberian hadiah, maka pengadil sebenarnya sedang melakukan analogi. Padahal, afinitas merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas, nan merupakan prinsip paling mendasar dalam norma pidana," katanya.
Todung Mulya Lubis juga menyoroti ketiadaan lembaga retrial sebagaimana Inggris, meski sangat dibutuhkan andaikan pengadil melakukan kesalahan dalam menjatuhkan vonis atas suatu perkara.
"Indonesia memang tidak mengenal langkah retrial seperti nan ada di Inggris. Namun keberadaan lembaga peninjauan kembali bisa menjadi opsi untuk melakukan koreksi ini," ucapnya.
(inh)