Amnesty soal Demo RUU Pilkada: Aparat Brutal, Banyak yang Ditangkap

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Amnesty International Indonesia (AII) mengatakan abdi negara kepolisian menggunakan kekuatan berlebih dan condong sadis saat mengamankan tindakan demonstrasi warga menolak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada di DPR RI, Kamis (22/8).

Kesimpulan itu diperoleh Amnesty setelah melakukan pemantauan di sejumlah wilayah termasuk Jakarta.

"Satu kata, brutal. Pengamanan nan semula kondusif, berujung brutal. Dan fatalnya, ini bukan pertama kali," ujar Direktur Eksekutif AII Usman Hamid dikutip dari laman AII, Jumat (23/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Aparat nan sadis tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut kewenangan asasi manusia, dari kewenangan untuk berkumpul tenteram hingga kewenangan untuk hidup, tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi," sambungnya.

Usman menegaskan para demonstran bukan kriminal, tetapi hanya penduduk nan mau mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan, kata dia, jika melanggar norma pun tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal.

"Sejak pagi, Amnesty memantau langsung jalannya protes. Di petang hari, ada banyak nan ditangkap dan diperlakukan dengan cara-cara nan tidak mencerminkan penegak norma nan profesional," imbuhnya.

Dalam perihal ini Usman menyinggung tindakan sadis merespons perusakan alias perobohan pagar Gedung DPR. Ia menjelaskan kekuatan hanya bisa dipakai ketika polisi bertindak untuk melindungi alias menyelamatkan jiwa, baik jiwa peserta tindakan maupun petugas.

Di lapangan, lanjut Usman, kekerasan nan dilakukan abdi negara sangat tidak perlu. Tidak ada jiwa nan terancam.

Kondisi tersebut membikin pernyataan Kapolri soal janji bersikap ahli dan menjadi pengayom menjadi tidak terbukti.

"Perilaku abdi negara nan sadis adalah bukti gagalnya mereka menyadari bahwa siapa pun berkuasa untuk memprotes melalui unjuk rasa, berkuasa untuk menggugat, tidak setuju alias beroposisi. Dan semua ini dilindungi oleh norma nasional maupun internasional," tutur Usman.

"Penggunaan kekuatan nan eksesif seperti kekerasan, peluru karet, gas air mata, kanon air alias water cannon maupun tongkat pemukul, tidak diperlukan sepanjang tidak ada ancaman nyata. Itu kudu dipertanggungjawabkan," lanjut dia.

Usman meminta pemerintah RI untuk mengusut dan menindak semua pelaku kebrutalan sampai tuntas. Ia berambisi tidak ada lagi korban jatuh saat menggunakan haknya berdemonstrasi.

Usman juga meminta Presiden dan DPR RI belajar menghormati kewenangan penduduk negara untuk dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Sebab, perihal itu merupakan penyebab utama kenapa mahasiswa dan masyarakat terpaksa turun ke jalan.

Presiden dan DPR juga kudu belajar menghormati kemerdekaan tiap-tiap orang untuk menyampaikan pendapat, termasuk nan antipemerintah sekali pun.

"Sudah saatnya Indonesia meninggalkan perilaku kekerasan nan tidak perlu, menghentikan rantai impunitas dengan memproses norma abdi negara keamanan nan terlibat secara terbuka, independen dan seadil-adilnya," pinta Usman.

Sebelumnya, Amnesty memantau langsung tindakan protes nan bertema #peringatandarurat di sejumlah kota di Indonesia pada Kamis, 22 Agustus 2024, termasuk di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar.

Berdasarkan pemantauan tim lapangan Amnesty, tindakan tersebut ditanggapi abdi negara dengan penggunaan kekuatan nan berlebihan.

Di Jakarta, banyak orang nan ditangkap. Hingga sore setidaknya sudah belasan orang nan ditangkap. Jumlah mereka terus bertambah. Mereka nan ditangkap termasuk staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta serta Direktur Lokataru.

Mereka pun menjadi korban luka. Selain itu, sembilan orang lainnya juga menjadi korban kekerasan polisi, termasuk mahasiswa dari Universitas Paramadina dan UHAMKA.

Tujuh wartawan dari beragam media (termasuk di antaranya Tempo, IDN Times dan MaknaTalks) diduga juga mengalami tindakan represif polisi.

Di Bandung, polisi tertangkap video mengejar dan memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya.

Sementara di Semarang, setidaknya 15 mahasiswa dari beragam kampus (Undip, Unnes, UIN Walisongo) dirawat di RS Roemani akibat tembakan gas air mata oleh polisi. Mereka mengalami indikasi seperti sesak napas, mual, mata perih, dan beberapa apalagi pingsan.

Politikus PDIP, Adian Napitupulu pun menyatakan ada ratusan orang nan ditangkap dalam tindakan demo menolak revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Kamis (22/8).

"Di sini (PoldaMetro Jaya) jika tidak salah berapa tadi 36, 36 di sini. Kalau tidak salah di Jakarta Barat 52, kemudian di Jakarta Pusat 23," kata Adian di Polda Metro Jaya, Kamis malam.

Adian mengaku dirinya sempat mengecek kondisi para pedemo nan ditangkap. Kata dia, para pedemo itu mengalami sejumlah luka.

"Bibir pecah, nan ketemu dari DPR hidungnya patah. Saya sampaikan pada penyidik-penyidiknya, saya tidak mau mendengar ada cerita kekerasan dalam proses pemeriksaan di setiap tahap di sini," tutur dia.

Lebih lanjut, Adian menyebut sudah ada puluhan pengacara dari beragam komponen nan dikerahkan untuk membantu proses norma para pedemo tersebut.

"Ada 20 orang tadi ketemu di dalam lawyer-nya," ujarnya.

Sebelumnya, Polda Metro Jaya sempat menyatakan tak ada demonstran nan ditangkap saat tindakan unjuk rasa menolak Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR.

"Tidak ada (yang diamankan). Tidak ada," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan.

Kendati demikian, Ade Ary menyampaikan pihaknya tetap bakal mencari info lebih lanjut ihwal berita penangkapan terhadap pedemo.

"Kami pastikan lagi, kami belum dapat info tersebut," ucap dia.

(DAL)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional