Apindo beranggapan formula bayaran minimum provinsi nan terus diubah oleh pemerintah berakibat jelek bagi bisnis.
28 November 2024 | 12.18 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memprotes formula upah minimum provinsi alias UMP nan menurutnya kerap diubah oleh pemerintah. Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan perihal ini membikin para penanammodal ragu-ragu terhadap upaya Indonesia.
Menurut catatan asosiasi tersebut, pemerintah telah mengganti formula UMP setidaknya empat kali dalam sepuluh tahun terakhir.
“Yang krusial dari pelaku usaha, tuh, kami perlu kepastian. Nggak mungkin bisa berubah-ubah terus. Investor bertanya. Saya rasa ini kudu jadi perhatian pemerintah bahwa kita nggak bisa terus-menerus berganti aturan,” ujar Shinta saat ditemui usai konvensi pers “Visit Store Klingking Fun - Pesta Diskon Anti Golput Edisi Pilkada 2024” pada Rabu, 27 November 2024.
Sebelumnya, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menyebut keputusan mengubah-ubah formula UMP tidak baik untuk suasana investasi. “Meningkatkan ketidakpastian, dan ini nggak bagus buat investasi. Sangat jelek,” kata Bob saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 9 November 2024.
Bob menjelaskan, bumi upaya kudu memperkirakan apakah investasi menguntungkan alias tidak, dan bakal berbalik modal dalam berapa tahun. Untuk menghitung itu, kata dia, dibutuhkan asumsi-asumsi termasuk kenaikan upah. “Kalau izin berubah-ubah, hitungan berubah semua,” tuturnya.
Selain soal investasi, dia menambahkan, bumi upaya juga mengalokasikan anggaran untuk kenaikan gaji. Ada pula kontrak-kontrak jangka menengah dan jangka panjang nan memerlukan perkiraan harga. Kedua perihal ini menurutnya bakal dibuat kacau dengan perubahan regulasi.
Apindo juga mengatakan bahwa kerap bergantinya izin dapat berujung pada hilangnya lapangan pekerjaan dan semakin meningkatnya sektor informal. Berdasarkan info Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, sebanyak 57,95 persen pekerja Indonesia berada di sektor informal.
Protes Apindo dipicu oleh putusan terbaru Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023. Pada Kamis, 31 Oktober 2024, MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan serikat pekerja lainnya mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Sidang nan dipimpin Ketua MK Suhartoyo mengabulkan pengetesan konstitusional 21 norma dalam UU tersebut. Salah satu poin di dalam putusan MK tersebut adalah perihal bayaran minimum.
Presiden Partai Buruh sekaligus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta pemerintah segera memutuskan kenaikan bayaran minimum provinsi dan kabupaten/kota (UMP dan UMK) serta bayaran minimum sektoral (UMSP dan UMSK) sesuai dengan putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023.
MK melalui putusan ini mencabut sebagian norma norma Omnibus Law UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, khususnya norma baru bayaran minimum.
Kalangan pekerja meminta kenaikan bayaran minimum ditentukan berasas nilai inflasi plus indeks tertentu, dikalikan nilai pertumbuhan ekonomi. Mereka sekaligus menolak rencana pembedaan bayaran minimum untuk industri padat karya dan padat modal nan sedang didiskusikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
PODCAST REKOMENDASI TEMPO
- Podcast Terkait
- Podcast Terbaru