TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut bahwa PT Indofarma (Persero) Tbk. terjerat pinjaman online atau pinjol. Hal ini tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 nan disampaikan BPK ke DPR pada Kamis, 6 Juni 2024.
Pada Bab III IHPS berisi hasil pemeriksaan BUMN dan badan lainnya itu, disebutkan PT Indofarma Tbk dan PT IGM (anak perusahaan PT Indofarma Tbk) melakukan aktivitas nan berindikasi fraud (kerugian).
Aktivitas itu di antaranya adalah transaksi jual beli fiktif pada Business Unit Fast Moving Consumer Goods (FMCG), penempatan biaya simpanan atas nama pribadi pada Koperasi Simpan Pinjam Nusantara (Kopnus), penggadaian simpanan pada Bank Oke untuk kepentingan pihak lain, melakukan pinjaman online atau pinjol (fintech) serta menampung biaya restitusi pajak pada rekening bank nan tidak dilaporkan di laporan finansial dan digunakan untuk kepentingan di luar perusahaan.
Selain itu, ada aktivitas mengeluarkan biaya tanpa underlying transaction, menggunakan kartu angsuran perusahaan untuk kepentingan pribadi, melakukan pembayaran kartu angsuran alias operasional pribadi, melakukan windows dressing laporan finansial perusahaan, serta bayar asuransi purnajabatan dengan jumlah melampaui ketentuan.
"Permasalahan tersebut mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp 278,42 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp 18,26 miliar atas beban pajak dari penjualan fiktif FMCG," tulis BPK dalam hasil auditnya di IHPS tersebut.
Atas persoalan itu, BPK merekomendasikan kepada Direksi Indofarma antara lain agar melaporkan ke pemegang saham perihal transaksi jual beli fiktif, penempatan dan pegadaian deposito, pinjaman online, penggunaan biaya restitusi pajak untuk kepentingan di luar perusahaan dan pengeluaran biaya tanpa underlying transaction.
Selain itu, Direksi Indofarma direkomendasikan untuk melaporkan ke pemegang saham soal pengeluaran kartu angsuran perusahaan untuk kepentingan pribadi, pembayaran kartu kredit/operasional pribadi, windows dressing laporan finansial perusahaan, serta pembayaran asuransi purnajabatan dengan jumlah nan melampaui ketentuan nan berindikasi kerugian sebesar Rp 278,42 miliar dan berpotensi kerugian sebesar Rp 18,26 miliar.
BPK juga merekomendasikan Direksi Indofarma agar berkoordinasi dengan pemegang saham dan Kementerian BUMN untuk melaporkan persoalan perseroan dan anak perusahaannya kepada abdi negara penegak hukum. "Dan menginstruksikan Direksi IGM untuk berkoordinasi dengan instansi pajak agar perusahaan tidak dikenakan beban pajak penjualan senilai Rp 18,26 miliar atas transaksi penjualan fiktif Business Unit FMCG," tulis BPK.
Dalam auditnya itu juga, BPK menemukan permasalah lantaran Indofarma dan IGM melakukan aktivitas pengadaan perangkat kesehatan tanpa studi kepantasan dan melakukan penjualan tanpa kajian keahlian finansial customer antara lain pengadaan serta penjualan teleCTG, masker, PCR, rapid test (panbio), dan isolation transportation.
Hal-hal tersebut, nan menurut BPK, mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp 16,35 miliar serta potensi kerugian sebesar Rp 146,57 miliar nan terdiri dari piutang macet sebesar Rp 122,93 miliar dan persediaan nan tidak dapat terjual sebesar Rp 23,64 miliar.
Atas persoalan itu, BPK merekomendasikan kepada Direksi Indofarma untuk melaporkan ke pemegang saham atas pengadaan dan penjualan perangkat kesehatan teleCTG, masker, PCR, rapid test (panbio), dan isolation transportation nan mengakibatkan indikasi kerugian Rp 16,35 miliar dan potensi kerugian Rp 146,57 miliar.
BPK juga merekomendasikan Indofarma berkoordinasi dengan pemegang saham dan Kementerian BUMN untuk melaporkan persoalan perseroan dan anak usahanya kepada abdi negara penegak hukum. "Dan mengupayakan penagihan piutang macet senilai Rp 122,93 miliar," tulis BPK.
Selanjutnya: Ketua BPK Isma Yatun sebelumnya membeberkan ...
Iklan
- 1
- 2
- Selanjutnya