TEMPO.CO, Jakarta -Otoritas Jasa Keuangan alias OJK mengungkap ada tujuh juta info lembaga Indonesia nan terekspos di situs gelap alias dark web. Angka tersebut dipaparkan oleh Ketua Dewan Audit merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Sophia Wattimena, nan mengutip laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Sophia mengatakan keamanan siber menjadi salah satu tantangan utama nan sedang dihadapi Indonesia, saat membuka Risk & Governance Summit 2024 nan diadakan OJK di Jakarta pada Selasa, 26 November 2024. “Menurut laporan BSSN per September 2024, terdapat tujuh juta info nan terekspos di dark web dari lebih dari 450 lembaga nan terdampak. Sekitar tiga persen di antaranya adalah dari sektor keuangan,” kata Sophia, dipantau dari siaran langsung di kanal YouTube OJK.
Laporan nan dia sitir adalah Laporan Tahunan 2023 dan Laporan Bulanan Publik September 2024 dari BSSN. Bos audit OJK itu mengatakan, otoritas terus memperkuat industri dengan membangun prasarana digital nan aman. Beberapa perihal nan dilakukan OJK termasuk menerbitkan Peraturan OJK alias POJK No. 11 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. Aturan itu mencakup aspek data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, dan tatanan lembaga bank.
Selain itu, dia melanjutkan, OJK juga mempunyai POJK No. 4 Tahun 2021 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Lembaga Jasa Keuangan Nonbank. Aturan itu mempertimbangkan akibat pemanfaatan teknologi info bagi lembaga jasa finansial nonbank.
OJK juga sempat merilis pedoman keamanan siber untuk penyelenggara penemuan teknologi sektor finansial (ITSK), serta kode etik penggunaan kepintaran buatan alias artificial intelligence (AI). “Hal ini dilakukan untuk merespons rumor penurunan digital trust (kepercayaan digital),” ujarnya, menggunakan 2024 Edelman Trust Barometer sebagai sumber.
Berdasarkan survei 2024 Edelman Trust Barometer, ada tren nan menunjukkan penurunan kepercayaan digital secara global. Survei ini disebarkan secara daring dan diisi oleh lebih dari 32 ribu responden nan tersebar di 28 negara, dengan 1.150 lebih responden per negara.