TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya meningkatkan penggunaan daya baru terbarukan (EBT) dalam industri pemurnian mineral (smelter) untuk mengurangi emisi, mendukung transisi daya bersih, dan menciptakan industri nan lebih ramah lingkungan serta berkelanjutan. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat menghadiri aktivitas Green Initiative Conference 2024 di Jakarta, Rabu, 25 September, mengatakan telah terjadi pergeseran pandangan industri dunia nan sekarang sudah bergeser ke arah nan lebih hijau.
"Dalam industri dan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia sudah mulai tobat bertahap. Karena dulu kita berpikir tentang mencari duit dengan sigap tanpa memperhatikan proses lingkungan dengan baik," kata Bahlil.
Selain itu, upaya tersebut juga merupakan bagian dalam membidik sasaran ambisius mengurangi emisi untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 alias lebih cepat. Sejalan dengan paradigma dunia tersebut, tutur Bahlil, pemerintah bakal membikin peraturan untuk memanfaatkan EBT di dalam industri-industri smelter secara berjenjang dan perlahan, nan sebelumnya menggunakan batubara sebagai sumber daya listriknya. "Di Weda Bay itu membangun industri hilirisasi dari bahan baku nikel. Sekarang dia sudah punya kurang lebih sekitar 8-10 gigawatt, artinya 8-10 ribu megawatt," tuturnya.
Bahlil menyebut bahwa sudah berbincang dengan pemilik smelter Weda Bay mulai 2025 pengolahan nikel disana bakal menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di lahan jejak tambang, dengan sasaran lima tahun selanjutnya pemanfaatan EBT sudah di atas 50 persen. "Puncaknya kelak di tahun 2030 minimal 60-70 persen mereka sudah bisa melakukan konversi memakai daya baru terbarukan," tambahnya.
Iklan
Selanjutnya, Bahlil mengatakan bahwa smelter-smelter nan produk turunannya hanya sampai dengan Nickel Iron Pig (NPI) bakal diberikan persyaratan sudah kudu memakai EBT, alias setidaknya menggunakan daya berbasis gas bumi, meski mempunyai investasi nan lebih mahal. "Tetapi, mahalnya Capex untuk melakukan investasi terhadap power plant nan berorientasi pada EBT itu ditutupi dengan nilai produk nan memang harganya lebih mahal daripada produk nan dihasilkan dari daya batu bara alias fosil. Jadi jika dihitung secara ekonomi, itu no issue," kata Bahlil.
Pilihan editor: Jokowi Tak Berkantor Sepenuhnya di IKN, Hanya Kunjungan Kerja Lalu Kembali ke Jakarta