TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat daya Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan pemakaian Pertamax Green 95 alias Pertamax hijau belum efektif diterapkan untuk ramah lingkungan lantaran tetap menggunakan daya fosil. "Pertamina mengembangkan green nan harganya sekitar Rp 13.500 per liter nah ini masuk kategori meningkatkan nilai jika itu merupakan pengganti pertalite," kata Fahmy kepada Tempo melalui saluran telepon pada Rabu, 29 Mei 2024.
Fahmy menilai jika Pertamax Green 95 dipakai sebagai pengganti pertalite maka otomatis konsumen dipaksa membeli bahan bakar nan lebih mahal. "Saya kira itu keputusan nan tidak tepat selain jika aktivitas diversifikasi sehingga konsumen punya pilihan memakai Pertamax, Pertalite alias Pertamax Green," ujarnya.
Fahmy menjelaskan bahan dari Pertamax Green adalah campuran dari bahan baku fosil dan etanol. "Jadi persentasenya sekitar 30 dan 30 persen sama dengan konsep biodisel pencampuran sawit dan solar," ujarnya.
Kontribusi untuk lingkungan diklaim Fahmy belum signifikan untuk pengurangan karbon. "Campurannya tetap daya fosil selain jika semuanya etanol alias sawit itu baru memberikan akibat pada lingkungan," paparnya.
Dari segi nilai Pertamax Green 95 juga lebih tinggi dibanding pertalite. Selain itu, etanol di Indonesia disebut Fahmy tetap terbatas sehingga belum bisa disebut penerapan untuk penghematan. "Etanol di Indonesia belum mencukupi akhirnya impor. Nah ini impor pertamax juga etanol sama-sama bakal menguras devisa. Tapi jika itu upaya pengembangan diversifikasi saya kira boleh-boleh saja asal tidak menggantikan pertalite," ujarnya.
Iklan
Sebelumnya, pemerintah sempat mengonfirmasi tengah melakukan persiapan penyediaan BBM bioetanol untuk mengganti Pertalite alias Pertamax. Salah satunya persiapannya dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Tujuan pembentukkan satgas itu disebut untuk menyiapkan bahan baku biofuel sebagai pengganti Pertalite alias Pertamax nan bakal mulai digunakan pada 2027. Pembentukan Satgas Gula dan Bioetanol ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 nan ditandatangani Presiden RI Jokowi pada 19 April 2024.
Dikutip dari Koran Tempo Rabu, 29 Mei 2024 kesiapan Pertamax hijau baru ada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi hingga April 2024 total sudah ada 65 di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) nan menyediakan bahan bakar Pertamax Green 95.
Juru bicara PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Taufiq Kurniawan mengatakan pihaknya saat ini tetap membatasi produksi Pertamax Green 95. Produk ini ialah bioetanol dengan campuran 5 persen etanol dari molase tebu ke dalam Pertamax. Produk tersebut sebenarnya sudah diluncurkan sejak Juni 2023 lalu. Taufiq memperkirakan konsumsi Pertamax Green 95 bisa mencapai 96 ribu kiloliter per tahun. "Untuk membikin BBM sebanyak itu Pertamina memerlukan etanol sebanyak 4.800 sampai 5.000 kiloliter per tahun," kata Taufiq dikutip di Koran Tempo.
Bahan bakar itu diperoleh dari PT Enero nan merupakan anak perusahaan PT Perkebunan Nusantara. Saat ini pemakaian Pertamax Green 95 diminati oleh pengguna kendaraan mesin berkompresi tinggi alias rasio 11-12:1 seperti mobil merek BMW, Toyota Zenix dan Toyota Camry.