KEMENTERIAN Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) alias Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan 40 hingga 50 persen masyarakat Indonesia belum bisa mengonsumsi pola makan bergizi seimbang. Hal itu disebabkan nilai nan mahal dibandingkan dengan pola makan bergizi cukup.
Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas Mohamad Rahmat Mulianda mengatakan hasil studi menunjukkan biaya untuk menerapkan pola makan bergizi seimbang mencapai 66 persen lebih mahal dibandingkan pola makan bergizi cukup.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Akibatnya 40-50 persen masyarakat kita (Indonesia) belum bisa membeli makanan bergizi nan seimbang. Artinya, semakin tinggi kualitas gizi suatu makanan, semakin banyak pula masyarakat nan tidak dapat menjangkau,” kata Rahmat, mengutip Antara, Kamis, 23 Oktober 2025.
Ia menilai tantangan tersebut menunjukkan upaya penguatan ketahanan pangan nasional tidak hanya soal aspek produksi, tapi juga aksesibilitas dan keterjangkauan harga. Rahmat menuturkan banyak masyarakat di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) nan tetap menghadapi hambatan dalam memperoleh bahan pangan bergizi dengan nilai terjangkau.
Menurut Rahmat, kondisi kerentanan pangan di wilayah 3T tersebut menjadi ironi bagi negara agraris nan terletak di wilayah tropis seperti Indonesia. “Padahal kita negara agraris. Negara di wilayah tropis ini harusnya tidak ada kerentanan pangan, lantaran kita (diberi sinar) mentari cukup, tanah gembur, dan sebagainya. Tentunya ini tantangan untuk kita gimana pangan lokal bisa berkontribusi untuk gizi berimbang dan untuk pemenuhan pangan setiap masyarakat,” tuturnya.
Ia pun menekankan pentingnya diversifikasi pangan lokal sebagai upaya untuk memperbaiki pola konsumsi masyarakat. Salah satunya mendorong peningkatan konsumsi protein hewani dan nabati dari sumber pangan lokal, termasuk hasil laut (blue food) nan kaya protein.
Ia mengatakan pemerintah saat ini tengah menyusun strategi nasional ketahanan pangan nan mencakup penguatan kebijakan, peningkatan produksi pangan lokal, optimasi distribusi, penemuan teknologi, serta pemberian insentif bagi pelaku upaya pangan lokal. “Pangan lokal bukan sekadar sumber gizi, tetapi juga menjadi simbol kemandirian dan ketahanan ekonomi masyarakat di tingkat akar rumput,” ujar Rahmat.