TEMPO.CO, Jakarta - Chief Strategist dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Yurdhina Meilissa, mengkritisi rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan dari 11 persen menjadi 12 persen. Ia menilai kenaikan PPN akan memicu peningkatan biaya jasa kesehatan.
“Dari sisi industri, penambahan PPN bakal memberi akibat tidak langsung nan berkontribusi terhadap biaya jasa kesehatan,” ujar Yurdhina dalam jawaban tertulisnya seperti dikutip pada Kamis, 28 November 2024.
Yurdhina menjelaskan, jasa kesehatan pada dasarnya merupakan kategori nan dikecualikan alias dibebaskan dari pajak. Namun, kenaikan nilai bahan pokok farmasi serta alat-alat kesehatan nan dikenai PPN 12 persen juga berakibat pada peningkatan biaya jasa kesehatan.
Ia mencontohkan dengan obat-obatan nan pada dasarnya merupakan peralatan kena pajak (BKP) sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.52/2000. Dimana, obat-obatan nan diberikan bagi pasien rawat jalan bakal ikut dikenakan PPN.
“Obat merupakan peralatan kena pajak (BKP) nan bakal terkena PPN pada setiap rantai distribusinya,” kata Yurdhina.
Yurdhina juga mengatakan, kenaikan harga-harga obat-obatan ini nantinya juga bakal ditanggung oleh masyarakat. Ia menjelaskan, dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), ada biaya tambahan nan kudu dikeluarkan masyarakat untuk menebus obat-obatan ataupun perangkat kesehatan nan tidak dijamin oleh JKN. Biaya ini nantinya bakal meningkat besarannya jika PPN 12 persen jadi diberlakukan.
“Yang kudu dipikirkan adalah pengaruhnya terhadap skema out-of pocket, alias biaya nan dikeluarkan secara pribadi, baik nan tidak masuk dalam skema JKN maupun nan kudu bayar lebih dari plafon pembiayaan nan ditanggung JKN,” ucapnya.
Sebelumnya diketahui biaya pengobatan di Indonesia meningkat 13,6 persen selepas pandemi Covid-19. Sementara itu, jika dilihat secara tahun ke tahun alias year on year (yoy), biaya pengobatan di Indonesia naik sebesar 11,5 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan kenaikan ongkos kesehatan di Asia sebesar 11 persen.
Menurut Asosiasi Asuransi Jiwa, kenaikan biaya kesehatan disebabkan oleh kenaikan nilai peralatan medis, biaya klaim asuransi nan meningkat serta penundaan perawatan selama masa pandemi Covid-19. Inflasi medis selaras dengan kenaikan biaya tarif pelayanan kesehatan pada awal 2023 nan tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Tarif Pelayanan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
“Kenaikan biaya kesehatan juga dipengaruhi oleh inflasi umum pada 2022 sebesar 5,5 persen,” kata mereka dalam laman resmi organisiasi aaji.or.id itu.
Ikhsan Reliubun ikut berkontribusi dalam penulisan tulisan ini.